Kisah cinta dan pernikahan mungkin memang kedengarannya selalu manis dan romantis sekarang ini. Namun konsep pernikahan itu sendiri sudah berevolusi ribuan tahun lamanya sehingga sampai ke titik ini. Mari kita ikuti perjalanan kisah cinta dari masa ke masa…
Artikel ini disadur dari sebuah video di Youtube berjudul History of Ideas – Love dari School of Life. Bagi Anda yang tidak bermasalah dengan kuota internet ataupun bahasa Inggris, Anda bisa melihatnya dan menutup laman artikel ini.
Mari, Suriah, 1775 Sebelum Masehi. Raja Zimri-Lim dari kota Mari di bantaran sungai Efrat menikahi Shibtu, seorang putri dari kerajaan tetangga, Yamhad. Pernikahan ini bukan atas dasar cinta namun, layaknya pernikahan di jaman kuno dulu, pernikahan antara Zimri-Lim dan Shibtu bersifat transaksional. Kota Mari memiliki lokasi strategis untuk perdagangan dan, dengan menikahi Shibtu, Zimri-Lim mengamankan jalur perdagangan dari Suriah ke Mesopotamia.
Hal ini, pernikahan berbasis transaksional, mungkin terlihat tabu (atau paling tidak, tidak diakui) di jaman modern sekarang ini. Namun, kenyataannya, hal ini terjadi ribuan tahun silam – yang sebenarnya tidak terlalu lama jika menghitung keseluruhan proses sejarah evolusi manusia – dan juga masih terjadi di banyak kasus sekarang ini, meski tidak banyak yang berani mengakuinya.
Blaye, Perancis, 1147. Jaufré Rudel adalah salah satu dari generasi pertama pujangga kerajaan (troubadour) yang tercatat dalam sejarah. Rudel jatuh cinta dengan seorang janda seorang bangsawan (countess) dari Tripoli meski ia belum pernah melihat dambaan hatinya. Rudel menulis sejumlah sajak dan puisi yang ditujukan untuk dambaan hatinya. Rudel mencintainya sepenuh hati tanpa ada rasa ingin memiliki ataupun ingin berhubungan seksual dengan sang kekasih hati.
Rudel ingin sekali bertemu dengannya. Berlayarlah sang pujangga menuju Tripoli. Di perjalanan, Rudel jatuh sakit namun ia berhasil sampai ke Tripoli. Sang janda yang mengetahui kedatangan Rudel pun mengunjunginya. Penyakitnya akhirnya pun merenggut nyawa sang pujangga sesaat setelah ia bertemu dengan sang janda namun Rudel meninggal dengan damai di dalam pelukan dambaan hatinya.
Meski kisah Rudel terjadi ribuan tahun yang lalu, kisah cinta Rudel tetap menjadi konsep ideal dari sebuah rasa yang bernama cinta: bahwa cinta itu tidak harus memiliki, cinta tidak harus berakhir di sebuah pelaminan, ataupun cinta tidak harus menuntut balas.
Versailles, Perancis, 14 September 1745. Jeanne-Antoinette Poisson, seorang gadis cantik berusia 23 tahun menjadi selir utama (maîtresse déclarée) dari Louis XV. Mulai saat itu, ia dikenal dengan nama Madame du Pompadour dan tinggal bersama sang raja di istana.
Sang raja sendiri, saat itu, sudah menikah selama 20 tahun. Namun, kala itu, pernikahan tidak ada hubungannya dengan kesetiaan cinta. Pernikahan dilakukan untuk kepentingan negara dan sang raja bebas memiliki selir-selir sesuka hatinya. Tidak ada yang terganggu dengan hal tersebut karena memang lumrahnya seperti itu di kala itu. Louis XV memiliki sejumlah selir, termasuk Marie-Louise O’Murphy yang berusia 14 tahun, yang kerap menjadi inspirasi lukisan-lukisan semi pornografi oleh François Boucher.
Kala itu, mereka percaya bahwa pernikahan dan percintaan memang tidak akan pernah sejalan. Pernikahan ditujukan untuk menghasilkan keturunan dan kebutuhan praktis lainnya. Sedangkan percintaan ditujukan kebahagiaan, drama, dan hubungan seksual.
Gretna Green, Skotlandia, 1812. Sepasang suami istri baru saja menikah diam-diam. John Lambton, 1st Earl of Dunham, yang memiliki status dan kekayaan menikahi Harriet, anak haram dari Earl of Cholmondeley, yang tidak memiliki status ataupun kekayaan namun jelita paras rupanya. Kedua keluarga mereka marah besar dan mencoba menggagalkan pernikahan mereka – namun tidak berhasil. Mereka adalah salah satu dari pasangan ‘modern’ yang percaya bahwa dalam pernikahan cinta harus berada di atas kebutuhan praktis.
Mereka pun melarikan diri ke Gretna Green, sebuah desa di Skotlandia untuk lepas dari hukum Inggris. Sepasang suami istri ini adalah salah satu contoh konsep romantisme yang menekankan rasa dan keputusan emosional di atas logika dan keputusan rasional.
Desa Gretna Green pun menjadi surga bagi para pasangan kawin lari. Ratusan pasangan lainnya hijrah ke desa tersebut untuk turut melarikan diri. Kasus Gretna Green pun menjadi contoh sebuah idealisme dimana pernikahan merupakan konsekuensi dari rasa cinta dan menomorduakan kebutuhan praktis, seperti papan, sandang, dan pangan.
London, Inggris, 1813. Dalam novelnya yang berjudul, Pride and Prejudice, Jane Austen (1775 – 1817) menawarkan sebuah paradigma baru tentang pernikahan. Lamaran Fitzwilliam Darcy yang ditolak oleh Elizabeth Bennet mengejutkan banyak pembacanya kala itu. Pasalnya, Darcy tidak hanya tampan tetapi juga kaya raya. Sedangkan Elizabeth berasal dari keluarga miskin dengan 4 anak yang butuh bantuan materi sebanyak yang bisa ia dapatkan.
Elizabeth menolak Darcy karena Darcy arogan dan mau menang sendiri. Keputusan Elizabeth menunjukkan paradigma baru yang muncul di masyarakat Inggris kala itu: bahwa seorang wanita harus mencintai pria yang akan menikahinya. Austen sendiri juga pernah menolak lamaran dari seorang pria dengan mengatakan, “Anything is to be preferred or endured rather than marrying without affection.”
Namun demikian, ending dari Pride and Prejudice lah yang masih berpengaruh hingga jaman modern sekarang ini. Jane Austen berpendapat bahwa logika dan romansa haruslah berjalan beriringan.
“To marry only for money is, she argues, a disaster. But equally she holds that to marry only for love is terrible folly too.”
Elizabeth akhirnya menikah dengan Darcy setelah mereka berdua mau kompromi dan berbenah diri. Ide inilah yang menjadi konsep ideal pernikahan modern, bahwa pernikahan adalah tidak hanya soal rasa tapi juga soal logika. Tanpa kedua hal tersebut, hubungan pernikahan akan berakhir atau tidak akan berujung pada kebahagiaan.
London, Inggris, 24 November 1859. Charles Darwin merilis bukunya yang berjudul Origin of Species. Darwin beranggapan, karena kita satu nenek moyang dengan kera, kita tidak hanya mewarisi struktur tulang dan fisik yang mirip namun juga dalam tataran psikologis dan kebutuhan dasar. Karena itu, ia percaya bahwa mewujudkan pernikahan ideal, yang tanpa perselingkuhan, merupakan hal yang sangat sulit dilakukan. Ia menyarankan daripada memaksakan untuk monogami, poligami dan seks berbasis kesempatan mungkin lebih cocok bagi kita sebagai manusia. Karena kita, manusia, memiliki hasrat mendasar untuk reproduksi dan mempertahankan keberlangsungan spesies kita.
San Fransisco, Amerika Serikat, Agustus 1965. Jefferson Poland adalah salah satu dari generasi pertama kaum hippies. Bersama-sama dengan kawan-kawannya, Poland demonstrasi dengan meneriakkan, “Sex is clean! Law is obscene!” Kaum hippies melawan norma sosial yang melarang untuk tidak berpakaian, hubungan sesama jenis, dan hubungan seks sebelum menikah, sebagai bentuk represi seksual. Monogami pun dipertanyakan. Mereka beranggapan bahwa pria dan wanita yang ingin bebas harus melepaskan diri dari institusi pernikahan, sehingga juga terlepas dari masalah kecemburuan, ketidaksetiaan, dan perceraian. Pernikahan mengubah romantisme cinta menjadi sebuah bencana.
Belgia, 2015. Inilah negara dengan tingkat perceraian tertinggi di dunia. 71% pernikahan berakhir dengan perceraian. Sebuah surat kabar melakukan survey untuk mencari tahu alasan paling umum dari perceraian-perceraian tersebut dan jawaban mereka sebenarnya sudah bisa kita duga: ekspektasi awal mereka tentang pernikahan tidak terpenuhi. Negara-negara lain juga memiliki presentase yang tidak berbeda jauh, Inggris 42%, AS 53%, Hunggaria 67%, dan Portugal 68%. Ide pernikahan ideal yang penuh cinta dan kesetiaan memang masih bertahan namun kenyataannya seringkali memang tidak seindah yang dibayangkan.
Penutup:
Harapan di masa depan tentang cinta dan pernikahan terletak pada kesanggupan tiap orang untuk berani berkorban dan realistis: bahwa mereka tidak bisa mendapatkan semua hal yang mereka inginkan dari sebuah rasa cinta, hubungan, ataupun pernikahan. Kita seringkali memiliki tujuan yang terlalu muluk-muluk dari sebuah hubungan: seks yang bombastis, rasa yang tak pernah padam, keluarga idaman, karir, dan kecukupan materi. Jika semua itu HARUS terpenuhi, niscaya, kita justru akan gagal mendapatkan semuanya.
Artikelmu menarik bro.