5 Tantangan Terbesar Bagi Para Pekerja Kreatif

Mungkin tulisan ini bisa jadi adalah uneg-uneg saya semata, namun saya adalah salah satu orang yang percaya bahwa verbalisasi pemikiran merupakan salah satu cara mengatasi masalah atau setidaknya meringankan tantangan.

Plus, mungkin juga tulisan ini bisa berguna bagi kawan-kawan saya yang juga berprofesi sebagai sesama pekerja kreatif atau bagi mereka yang lebih muda, yang ingin terjun ke profesi ini. Atau, tulisan ini juga bisa di-share untuk mereka-mereka yang tak mau tahu dengan proses dan semena-mena dengan para pekerja kreatif wkakwkakwak…

1. Seringkali dianggap sepele

b7jiabxciaa8rlr

Mungkin inilah tantangan yang paling sering saya alami dan saya lihat dari kawan-kawan saya sesama pekerja kreatif.

Misalnya saja, para desainer grafis. Saya sering sekali mendengar dan mendapati sendiri mereka-mereka yang menganggap pekerjaan ini mudah.

Coba tolong ini foto pesertanya diganti jadi pakai jas dan dasi semua ya…” Padahal foto semua pesertanya hanya mengenakan kemeja lengan panjang kwkwkwkw. Percaya atau tidak, saya pernah mendengar cerita seperti ini.

Selain dari atasan atau klien, tak sedikit juga kalangan awam yang menganggap bahwa semua orang yang bisa Photoshop, Corel, Illustrator, ataupun InDesign, juga bisa disebut sebagai desainer grafis.

Padahal, faktanya, teknik software pengolah gambar hanyalah salah satu dari segudang skill yang harus dimiliki oleh mereka-mereka yang memang layak menyebut dirinya desainer grafis.

international-photographers-day

Fotografer juga sama seperti itu. Pernahkah Anda mendengar kata-kata seperti ini: “You’re not a photographer. You just own an overpriced camera”. Penulis, seperti saya, juga saya yakin pernah merasakan hal yang serupa.

Tidak semua orang yang bisa foto, bisa pakai software pengolah gambar, bisa menulis, bisa main musik, atau yang lain-lainnya, bisa disebut fotografer, desainer grafis, penulis, musisi, ataupun profesi kreatif lainnya.

2. Tidak ada acuan benchmark yang jelas

istock_000062648006_large-1110x400

Tantangan pertama tadi mungkin sebenarnya juga terkait dengan tantangan ini.

Tolak ukur yang paling mudah dalam banyak hal adalah angka. Misalnya, bagi para Business Developer, revenue atau penghasilan yang bisa didatangkan untuk perusahaan bisa jadi tolak ukur yang lebih pasti dan diterima semua pihak.

Misalnya, orang yang bisa mendatangkan profit Rp 50 juta jelas lebih hebat ketimbang mereka yang hanya bisa mendatangkan laba Rp 20 juta – untuk perusahaan yang sama. Bagian Marketing juga sama mudahnya untuk mencari tolak ukurnya.

Namun, hasil proses kreatif adalah salah satu produk yang terlalu kompleks untuk disederhanakan jadi angka.

Ijinkan saya bertanya pada Anda, siapakah penulis terhebat di dunia? Jawaban atas pertanyaan ini mungkin sama susahnya dengan persamaan aljabar linear karena ada banyak perspektif yang bisa dijadikan tolak ukur.

writing

Dari sisi edukasi formal, mungkin jawabannya adalah Shakespeare karena nama itu yang pasti disebut di semua jurusan Sastra dan ia juga bisa dianggap sebagai salah satu sastrawan paling berpengaruh dalam sejarah.

Namun, faktanya, jumlah orang-orang yang membaca tulisan asli beliau juga sebenarnya tidak banyak. Kebanyakan orang tahu Romeo and Juliet itu dari film, bukan dari naskah dramanya.

Dari semua kawan-kawan saya yang memang fokus mempelajari sastra, saya baru menemukan satu orang yang benar-benar membaca dan mempelajari seluruh karyanya.

Kalau dari sisi penjualan dan pendapatan, beberapa waktu yang lalu, Forbes merilis daftar penulis dengan bayaran termahal di 2016 dengan James Patterson, Jeff Kinney, dan J.K Rowling di 3 posisi teratas.

Namun apa iya merekalah yang paling hebat dalam dari sisi teknik penulisan? Saya bisa menyebutkan sejumlah nama penulis lain yang, bagi saya, lebih hebat dari sisi teknis, seperti Paulo Cuelho, Jostein Gaarder, atau malah John Green.

paulo-coelho

Tadi kita sedang bicara tentang mereka-mereka yang berada di kelas awan-awan, acuan tolak ukur ini akan jadi semakin ambigu ketika berbicara tentang para profesional kreatif kelas comberan seperti saya kwkwkwk

3. Terlalu bergantung pada subyektifitas

Saya pribadi sudah ikhlas dan sadar betul tentang hal ini beberapa tahun silam. Tantangan ketiga ini juga sebenarnya terkait dengan absennya tolak ukur standar tadi.

Saya pribadi sudah tidak memaksakan diri tentang skill tulisan saya, maksudnya saya tahu betul skill itu sepenuhnya terkait dengan siapa klien atau atasannya. Jika klien atau atasan itu cocok dengan gaya saya, mereka akan bilang bagus tapi kalau tidak, ya apa boleh buat – sekedar numpang lewat saja proposal proyeknya.

Subyektifitas, meski saya sudah tidak percaya lagi dengan adanya obyektifitas murni (mungkin lain kali, saya akan bahas tentang hal ini lebih detil) dalam banyak hal, produk kreatifitas mungkin memang lebih mudah diperdebatkan dari aspek objektifitas.

Ijinkan saya mengambil contoh dari industri kreatif lain, musik misalnya. Saya pribadi menganggap Santana adalah gitaris paling ‘dewa’ namun saya tahu banyak dari Anda yang akan menyebut nama lain seperti Yngwie, Petrucci, Stanley Jordan, atau yang lain-lainnya.

Saya kira musik, layaknya industri kreatif lain, juga serupa dalam hal tolak ukurnya sepenuhnya bergantung pada siapa pendengar, pembaca, ataupun penikmatnya.

Entahlah mungkin ini hanya mekanisme psikologis saya dalam menerima kekurangan, tapi saya pribadi merasa lebih legowo ketika ikhlas menerima bahwa tidak semua orang suka dengan rasa dan selera yang saya sajikan.

4. Menerjemahkan ide dan rasa jadi bentuk yang lebih konkret

ideas

Saya pribadi percaya bahwa inilah yang jadi definisi pekerjaan para pekerja kreatif.

Tugas menerjemahkan ide dan rasa ini memang bukan tugas yang mudah karena ide dan rasa seringkali terlalu kompleks untuk disederhanakan jadi bentuk verbal, baik itu gambar (visual), nada (audio), ataupun kata-kata (bahasa).

Misalnya saja rasa sedih. Sedih itu sendiri punya banyak variasinya, sedih karena kehabisan tiket nonton konser, sedih karena diputus pacar, atau malah sedih ditinggal orang tua.

up-pixars

Faktanya, apa yang ada di otak kita, baik itu konsep, ide, ataupun rasa, tidak akan pernah sempurna diterjemahkan jadi bentuk verbal. Pasalnya, bentuk verbal, apapun itu variasinya, tidak akan pernah sebanyak jumlah neuron di otak kita yang berjumlah miliaran.

Apalagi jika konsep, ide, dan rasa itu berasal dari kepala klien atau atasan, akan ada lebih banyak kebocoran ide dan rasa saat disalurkan dari satu otak ke otak yang lainnya.

Misalnya saja seperti ini, membuat lagu sendiri untuk mencuri perhatian sang gebetan (seperti yang saya lakukan semasa SMA nyahaha…) itu jauh lebih mudah ketimbang membuat lagu jingle untuk iklan karena lagu gombal tadi berasal dari otak kita sendiri sedangkan lagu jingle merupakan hasil perpaduan antara ide, konsep, dan rasa klien, dengan skill dan gaya kreatif kita.

homer-simpsons-music-headphones-anime

Jadi, kemampuan seseorang dalam menerima ide dan rasa dari klien atau atasan juga jadi skill penting yang harus dimiliki oleh seorang pekerja kreatif. Semakin bagus seseorang membaca ide dan rasa, semakin mendekati juga hasil karya mereka dengan harapan awal klien atau atasan.

Karena itulah, teknik kreatif yang saya maksudkan di poin pertama tadi hanya satu dari segudang skill yang dibutuhkan. Teknik Photoshop, kepekaan nada, kekayaan diksi tetap akan membantu kita menyajikan karya yang lebih kaya namun skill itu sendiri tidak akan berguna jika kita salah membaca ide dan rasa klien atau atasan.

5. Inkonsistensi ide dan rasa

emotions

Inkonsistensi yang saya maksud di sini meliputi banyak hal namun, secara sederhana, saya akan membaginya jadi 2, dari sisi internal dan eksternal.

Dari sisi internal, saya kira setiap kita pasti pernah tiba di satu titik ketika kita mengalami kebuntuan ide. Kebuntuan ini biasanya lebih gawat bagi para pekerja kreatif ketimbang profesi lainnya.

Pasalnya, profesi kreatif biasanya bukanlah profesi yang penuh dengan rutinitas yang sama setiap harinya.

Misalnya saja bahkan di kelas penulis awan-awan tadi, tidak semua karya mereka dapat mencapai capaian yang sama. J. K. Rowling misalnya, karya beliau itu bukan hanya Harry Potter namun karya lainnya tadi tidak sesukses itu di pasaran. Jostein Gaarder, penulis Dunia Sophie (buku yang jadi penyelamat hidup saya), juga tidak memiliki karya lain seunik Dunia Sophie tadi.

“Dear Hilde, if the human brain was simple enough for us to understand, we would still be so stupid that we couldn’t understand it. Love, Dad.”
― Jostein Gaarder, Sophie’s World

Mungkin memang ada banyak faktor lainnya yang berpengaruh dalam kesuksesan sebuah novel namun tetap saja produk kreatif itu adalah produk hand-made (atau malah mind-made) yang tidak akan identik satu dengan yang lainnya layaknya produk massal.

Dari sisi eksternal, klien dan atasan juga dapat berpengaruh terhadap inkonsistensi karya para pekerja kreatif.

pc-usage

Misalnya seperti ini, seorang desainer sudah memberikan draft visual yang manis dan elegan, namun berhubung klien atau atasannya berselera ehm… murahan – layaknya spanduk-spanduk para politikus, jadinya hasil karyanya harus dirubah untuk mengikuti keinginan klien atau atasan tadi.

Hal ini juga bisa jadi sebaliknya ketika sang desainer tidak punya ide dan klien atau atasannya malah punya konsep minimalis namun eye-catching, karya tersebut bisa jadi lebih keren ketimbang karya-karya lain dari orang yang sama.

Akhirnya…

creative-process

Lalu dengan semua tantangan tadi, dimanakah letak perbedaan yang paling mencolok antara pekerja kreatif yang punya segudang pengalaman dan yang baru mulai, apalagi tadi ada inkonsistensi dan faktor subjektifitas yang besar pengaruhnya?

Hmm, jujur saja, saya bisa salah dalam hal ini, namun dari pengalaman saya menulis dan bekerja dekat dengan para desainer grafis, para pekerja kreatif dengan segudang pengalaman dapat menghasilkan ide yang biasanya lebih unik dan cepat ketimbang yang baru mulai.

Skill atau teknik juga pasti jauh berbeda antara yang baru dengan yang kelas kakap karena jam terbang tetap berpengaruh besar dalam semua skill hidup kita.

Anggap saja analoginya seperti ini, saya suka mengibaratkan pekerja kreatif itu seperti seorang koki. Pekerja kreatif yang baru mulai, mungkin hanya tahu ikan itu hanya bisa diolah dengan dibakar.

cooking

Sedangkan yang kelas kakap tahu ada banyak cara lain atau bahkan berani mencoba cara olahan baru agar dapat menghasilkan masakan unik yang belum pernah ada sebelumnya.

Terakhir, karena lebih sering bertemu dan bekerja sama dengan klien atau atasan, mereka-mereka yang sudah lama bergelut di bidang kreatif, kemungkinan besar lebih pintar memahami keinginan kliennya – karena mereka sudah pernah bertemu dengan berbagai macam klien dan permintaan dari yang aneh dan tidak masuk akal sampai klien yang sangat menyenangkan dan memahami proses kreatif.

art

So, bagi Anda yang baru atau ingin terjun jadi pekerja kreatif, 5 tantangan ini mungkin akan terus Anda hadapi selama berprofesi di bidang ini. Namun, teruslah mengasah diri dan menambah jam terbang – saya yakin, satu saat nanti Anda akan merasa perubahan yang signifikan dalam proses kreatif Anda.

Akhirnya, saya tahu betul bahwa jika dibanding dengan orang bisnis atau orang teknis, orang-orang kreatif biasanya memang paling diremehkan dan bayarannya juga paling kecil kwakkwkwaka (itu juga bisa jadi tantangan tersendiri) namun saya suka dengan pekerjaan kreatif karena tidak ada profesi lain yang begitu dinamis dalam mengejawantahkan rasa dan logika jadi begitu bernada.

“The object of art is to give life a shape” – Jean Anouilh

Yogyakarta, 9 September 2016

Yabes Elia

Yabes Elia

Yabes Elia

An empath, a jolly writer, a patient reader & listener, a data observer, and a stoic mentor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.