Judulnya kok aneh banget sih? Wkwkwkwkw… Biarin! Sebenarnya ini ide brilian dari kawan saya. Ini bukan soal isu fanatisme yang ‘itu’ ya (karena saya takut berpendapat soal yang ‘itu’ di negara yang katanya bebas berpendapat ini) tapi soal fanatisme para gamer – walaupun saya tidak bisa melarang jika Anda ingin menghubungkannya dengan fanatisme lain di luar gaming…
Kalau soal gamer, saya cukup pede karena mereka yang tahu pengalaman saya pasti tidak akan berani mendebat kalau saya bukan gamer (kalau ada, awas! Wkwkwkwkwk).
Kenyataannya, memang kebanyakan manusia itu, termasuk gamer juga, pasti fanatik dengan hal-hal tertentu. Contohnya gamer aja ya biar aman. ^<^
BACA JUGA: DARI SUDUT PANDANG PSIKOLOGIS: KENAPA KITA BERMAIN GAME?
Misalnya saja antara LoL dan Dota 2, antara CS:GO, Overwatch, CoD, Battlefield, atau malah Point Blank. Coba katakan bahwa LoL itu lebih bagus ke para maniak Dota 2. Saya yakin Anda akan di-bully. Demikian juga sebaliknya.
Belakangan juga muncul ungkapan nyinyir, “MOBA kok analog?” untuk menyindir para pemain MOBA (Mobile Online Battle Arena) di perangkat mobile. Padahal pemain MOBA di mobile sendiri juga terbagi lagi kubu-kubunya antara game yang berbeda.

PC gaming vs. console gaming vs. mobile gaming juga masing-masing punya penggemar fanatiknya. Di ranah lain di luar game juga sering terjadi saling sindir antar para fanatik, seperti di sepak bola, politik, dan yang ‘itu’ (yang-tidak-mau-saya-sebutkan-namanya).
Saya kira saya tidak perlu menyebutkan contoh fanatisme di luar game ya, saya yakin Anda sudah sering melihat (atau malah Anda pelakunya… wkakwakawk)
Namun, pertanyaan pentingnya adalah “Kenapa?“
Saya menemukan sebuah jurnal tulisan John Firman dan Ann Gila (2 penulis buku berjudul Psychosynthesis: A Psychology of the Spirit, 2002) yang menjelaskan bahwa ada keterkaitan antara fanatisme dengan apa yang disebut oleh Carl Jung sebagai “positive inflation” di bukunya Two Essays on Analytical Psychology (1996).
Lalu apa itu positive inflation? Silakan baca penjelasan lengkapnya di buku Jung tadi namun, jika saya boleh menyederhanakannya, hal ini merupakan kecenderungan berpikir manusia yang memandang dirinya terlalu hebat, atau setidaknya lebih hebat dari yang lainnya, dan merasa dapat/harus memikul beban atau menyelesaikan masalah dunia.

Menurut saya pribadi, hampir setiap orang punya kecenderungan berpikir seperti itu. Hanya tingkatan kesadarannya saja yang berbeda-beda. Jika Anda mau jujur dengan diri sendiri, kita semua pasti pernah berpikir (sadar atau tanpa sadar) bahwa kita lah sang protagonis di hidup ini.
Faktanya, kita semua memang punya tendensi untuk merasa jadi seorang pahlawan yang harus bertugas membela kebenaran. Karena itu, kita jadi ingin merasa membela apa yang kita percayai benar ketika muncul orang-orang yang berbeda dengan keyakinan kita.
BACA JUGA: WHY WE LOVE SUPERHEROES?
Misalnya tadi soal MOBA di perangkat mobile. MOBA memang pada awalnya muncul dan laris manis di PC. Kemudian muncullah banyak MOBA di mobile dan tidak kalah populer. Para pemain MOBA di PC itu berpendapat bahwa MOBA di PC lah yang lebih benar. Makanya, mereka berusaha keras untuk mendiskreditkan MOBA di mobile.
Saya pribadi? Well, saya orang praktis. Saat saya masih jadi Managing Editor PC Gamer Indonesia, saya tentu lebih pro dengan MOBA di PC. Namun, karena kebetulan setelah itu saya lebih banyak membahas game mobile plus saya juga lebih banyak membaca di luar ranah gaming, saya jadi lebih terbuka.
Sentimentalisme jadi seorang pahlawan itu mungkin memang dimiliki semua orang. Selain karena saya tidak mau mengkotak-kotakkan kalangan tertentu, saya sendiri juga harus jujur mengakui saya pun tak jarang berpikir demikian – setidaknya dulu ketika saya masih merasa di atas angin.
Seperti cerita saya tadi, saat saya masih di PC Gamer Indonesia, saya juga sangat fanatik dengan PC gaming. Saya merasa punya beban membela PC gaming dan merasa sanggup mengubah dunia… wkwkwkw…
Sekarang, saya memang lebih terbuka dan tak mau lagi terjebak dengan fanatisme dan loyalisme sempit. Kenapa? Selain saya menyadari kecenderungan berpikir tadi, saya juga mempertanyakan, “tujuannya apa?“
Faktanya, sebuah produk, keyakinan, ataupun, hal-hal lainnya, tidak akan pernah hilang hanya karena satu orang atau satu pendapat semata. Plus, nyinyir, sindiran, atau bentuk antagonisasi lainnya sebenarnya malah cara yang paling tidak efektif dalam mengubah pendapat orang.
Kembali ke contoh game. MOBA di mobile tidak akan hilang hanya karena ada sindiran yang saya sebut tadi. Karena toh, para pemainnya juga tidak akan meninggalkan game tersebut hanya karena alasan itu.
BACA JUGA: REALITA ITU APA?
Jika tujuan Anda nyinyir di jejaring sosial itu hanyalah untuk mencari Likes, saya tidak akan menghakimi Anda dan saya kira itu sah-sah saja.
Namun, jika Anda berpikir sindiran tersebut dapat berpengaruh terhadap satu produk, hal, atau keyakinan yang memang sudah dipercaya oleh ratusan ribu atau bahkan jutaan orang lainnya, maaf, kemungkinan besar Anda sedang berhalusinasi…

Akhirnya…
Faktanya, setiap kita bukanlah superhero. Kita tidak akan mampu mengubah dunia dan segala isinya sendirian. Lagipula, satu produk, hal, atau keyakinan tidak akan punah hanya karena segelintir orang yang tidak suka dengannya. Demikian juga sebaliknya.
Terakhir, bagi saya, fanatisme membuat saya seolah seperti sedang melihat dalam gelap hanya dengan secercah cahaya karena saya jadi tidak mampu melihat banyak hal lain yang ada di sekitar saya.
Meski begitu, saya juga tidak akan memaksa Anda untuk tidak lagi jadi fanatik. Tugas saya hanyalah membagikan informasi yang saya dapat. Semoga saja berguna…
Jakarta, 2 Agustus 2017
Yabes Elia
feature image credit: pexels.com