Sejarah dan Perkembangan KDRT di Dunia

Kekerasan dalam Rumah Tangga atau KDRT, merupakan sebuah kejadian yang melibatkan kekerasan dalam lingkup keluarga. Kejadian ini sudah terjadi di seluruh penjuru dunia, bahkan sejak ratusan tahun yang lalu. KDRT mulai dipandang sebagai kasus serius dalam beberapa dekade terakhir, yang dibantu dengan tumbuhnya kesadaran dan kemajuan teknologi informasi yang ada saat ini. Sejarah KDRT memiliki perkembangan yang cukup lambat, jika ditinjau dari awal peradaban manusia.

Menurut UU no. 23 tahun 2004, kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Di Indonesia, korban KDRT masih didominasi oleh kaum perempuan. Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dari 19 ribuan kasus yang terjadi di tahun 2022, 17 ribu korban di antaranya adalah perempuan.

Mengapa kasus KDRT masih marak di Indonesia?

Banyak alasan yang mendasari kejadian-kejadian tersebut, seperti:

  • Laki-laki dan perempuan tidak berada dalam posisi yang setara.
  • Dalam masyarakat, laki-laki masih dianggap sebagai sebagai sosok yang kuat, berani, dan tanpa ampun saat menghadapi masalah.
  • KDRT tidak dianggap sebagai permasalahan sosial, melainkan persoalan pribadi, baik antara suami-istri atau anggota keluarga yang lain.
  • Pemahaman keliru terhadap ajaran agama, sehingga menimbulkan anggapan bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.

Atas konsep kontrol absolut yang semu inilah banyak perempuan yang enggan melawan dan bahkan pasrah saat menghadapi KDRT, karena konsep sosial dan budaya yang masih kuat di masyarakat. Apalagi topik ini juga masih dianggap tabu oleh sebagian masyarakat, karena dianggap sebagai persoalan ranah pribadi yang tidak semestinya diumbar ke ranah publik. Ketika seseorang melaporkan kasus KDRT yang menimpa dirinya, banyak pertimbangan yang harus ia lalui. Mulai dari hubungan yang mungkin hangus dengan pasangan, permasalahan ekonomi, hingga persepsi masyarakat sekitar terhadap rumah tangga korban. Belum lagi adanya oknum kepolisian yang mungkin tidak menerima dan memproses laporan tersebut, karena anggapan sepele tentang KDRT.

Perkembangan persepsi tabu terhadap KDRT di masyarakat Indonesia ini perlahan mulai luntur, dengan semakin banyaknya pendidikan, pengetahuan, dan kampanye terhadap penanganannya. Di Amerika, pihak kepolisian bahkan pernah menerima panggilan 911 dari seorang korban, yang diduga sedang mengalami kekerasan, dengan berpura-pura memesan Pizza agar tidak ketahuan oleh pasangannya.

Sedangkan di Indonesia, kasus KDRT hanya akan meledak, jika yang terlibat merupakan orang terkenal atau selebriti. Ironisnya, bahkan ada pasangan selebriti yang mengangkat persoalan KDRT dengan membuat konten prank, yang menihilkan upaya peningkatan kesadaran terhadap KDRT. Ada juga kasus KDRT yang benar-benar terjadi, seperti kasus Lesti Kejora dan Risky Billar, yang akhirnya berujung damai.

 

Mengapa mayoritas korban kekerasan (khususnya) di Indonesia, didominasi oleh perempuan?

Banyak faktor yang menyebabkan hal ini. Namun, salah satu penyebab yang paling utama adalah budaya Indonesia yang terbentuk oleh budaya patriarki, yaitu sebuah sistem sosial yang membuat laki-laki memegang otoritas utama, baik secara sosial, moral, politik, hingga ekonomi. Dengan mengakarnya sistem patriarki di masyarakat Indonesia, maka munculah persepsi terhadap “hak istimewa” yang memandang laki-laki memiliki kuasa atas perempuan, baik secara fisik maupun psikologis.

Secara biologis, jenis kelamin laki-laki dan perempuan jelas berbeda. Perempuan mempunyai rahim, mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, dan lain sebagainya. Sifat nature perempuan ini mempunyai hubungan timbal balik dengan alam, karena sifatnya yang produktif dan kreatif. Perempuan merupakan produsen sistem kehidupan yang baru. Adapun, laki-laki identik dengan kegiatan mengeksploitasi alam. Kekuatannya dikerahkan untuk menguasai dan menaklukkan alam sesuai dengan keinginan dan kepentingannya. Hal ini menyebabkan relasi kuasa dan eksploitasi antara laki-laki dan perempuan, mengakibatkan subordinasi perempuan. Masyarakat dan budaya mengkonstruksi perbedaan hubungan antara laki-laki dan perempuan tersebut untuk membedakan peran dan tugasnya. Berdasarkan struktur biologisnya, laki-laki diuntungkan dan mendominasi perempuan.

Namun dalam kasus tertentu, KDRT juga bisa terjadi kepada laki-laki, yang mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, yang tidak bisa dijabarkan seperti layaknya kasus KDRT terhadap perempuan.

 

Sejarah KDRT

Jika melihat ke belakang, sejarah kekerasan dalam rumah tangga sudah ada sejak lama, bahkan sejak awal mula peradaban manusia.

1. Kode Hammurabi (tahun 1792-1750 sebelum masehi)

Kode Hammurabi atau Code of Hammurabi, merupakan hukum tertulis tertua yang diterapkan pada kekuasaan raja Hammurabi saat memerintah Babilonia. Hukum ini mengimplementasikan sistem “mata ganti mata” sebagai konsekuensi dari perbuatan seseorang. Di zaman itu, hukum ini hanya berlaku kepada kaum laki-laki, sedangkan perempuan dan anak-anak dianggap sebagai properti saja. Bahkan, Kode Hammurabi secara tegas menyuruh laki-laki menggunakan kekerasan kepada keluarganya, dalam keadaan tertentu. Contohnya seperti jika seorang istri ketahuan berbuat zina, suaminya berhak untuk mengikat dan menenggelamkannya. Atau jika seorang anak memukul orang tuanya, tangan anak tersebut harus dipenggal.

Dari contoh-contoh di atas, KDRT tidak hanya diperbolehkan dilakukan, namun bahkan didukung penuh agar mewujudkan budaya patriarkal. Di era itu, konsep kesetaraan gender belum dikenal. Bahkan wanita dan anak-anak tidak memiliki hak asasi manusia di mata hukum dan sosial.

 

2. Kekaisaran Romawi (tahun 27 sebelum masehi-180 sesudah masehi)

Pada era kekaisaran Romawi kuno, dikenal sebuah masa yang disebut dengan Pax Romana, yang dalam bahasa Latin berarti “Damai Romawi”. Zaman yang berlangsung kurang lebih 200 tahun ini dipandang sebagai abad keemasan, yang menciptakan sebuah situasi yang damai, aman, dan makmurnya negara. Namun sayangnya, di zaman ini kekerasan masih digunakan sebagai alat kontrol, mulai dalam lingkup domestik hingga mancanegara (invasi dan penjajahan).

Di hukum romawi kuno, seorang laki-laki dewasa dianggap sebagai “pater familias” atau ayah dari keluarga, yang mengepalai rumah tangganya. Otoritas yang diberikan bangsa Romawi kepada kaum laki-laki terhadap istri dan anak-anaknya dianggap absolut dan laki-laki memiliki derajat yang lebih tinggi. Bahkan karena kekuasaan yang berlebih tersebut, ia berhak menjual keluarganya ke perbudakan, menyiksa, hingga membunuh. Ada juga hukum di masa itu yang membolehkan seorang suami untuk membunuh istrinya, dengan alasan selain zina. Jika ia ketahuan berjalan tanpa menggunakan pakaian yang pantas, ia dipandang layak untuk dihukum. Konsep hak asasi manusia juga masih belum ada, bahkan untuk seorang bayi. Kepala keluarga memegang keputusan terakhir, apakah bayi yang baru dilahirkan, akan dibesarkan atau dibuang.

Walaupun tidak sekejam kode Hammurabi, kekerasan dalam rumah tangga masih dianggap sebagai sebuah kewajaran di zaman romawi kuno, bahkan di era yang relatif damai.

 

3. Awal Gereja Kristen Katolik (tahun 313-380)

Di zaman ini, agama Kristen diakui sebagai agama resmi oleh Roma. Walaupun mengadopsi kultur dan agama yang baru, bangsa di Eropa masih menggunakan kekerasan dalam menyebarkan agama, yang sangat bertolak belakang dengan ajaran agama Kristen itu sendiri.

Kebangkitan agama Kristen ini merupakan titik penting dalam sejarah, karena dampaknya terhadap budaya barat, yang mengatur banyak kultur-kultur sosial, yang mungkin masih diterapkan hingga sekarang. Saat ajaran agama Kristen semakin meluas di benua Eropa, konsep istri yang tunduk pada suami masih diterapkan, walau kini perilaku tersebut lebih diatur oleh agama, daripada ke hukum atau budaya masyarakat yang berlaku.

Karena mengacu kepada agama, maka relasi suami istri ini akan mengacu ke konsep dosa dan akhirat. Di abad ke-15, gereja katolik mengajarkan “Aturan Pernikahan”, yang menyatakan bahwa suami juga berperan sebagai seorang hakim untuk istrinya, dan menganjurkan untuk memakai kekerasan, sebagai bentuk ketaatan, yang akan menyelamatkan jiwanya.

Hingga hari ini, masih terdapat sejumlah oknum di gereja Katolik, yang masih menggunakan beberapa ayat Alkitab, untuk membenarkan KDRT, melarang perempuan untuk bercerai atau meninggalkan rumah, dlsb. Dengan berlindung di balik agama (tidak hanya Katolik), rasa kemanusiaan seseorang bisa hilang hanya karena ingin memenuhi hasrat dan keuntungan pribadi saja.

 

4. Puritan (abad ke-17)

Puritan merupakan sebuah sebutan untuk kelompok agama Katolik, yang mencari kebebasan beragama dan berlayar hingga ke Amerika Utara. Mereka merupakan kelompok yang berasal dari Inggris, yang sebelumnya disingkirkan dan didiskriminasi atas kepercayaan mereka terhadap agama Katolik yang murni. Mereka mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan dan terpaksa keluar dari Inggris. Sebelum mereka ke Amerika Utara, mereka mencari suaka di Belanda. Alih-alih mendapatkan perlindungan, penguasa di sana malah memanfaatkan mereka sebagai pekerja kasar.

Karena hidup di sebuah kondisi yang keras, hal ini mengakibatkan penerapan aturan yang keras juga terhadap umatnya, yang digabungkan dengan ajaran agama. Dalam hukum yang berlaku di zaman itu, hanya laki-laki kulit putih saja yang diakui di mata hukum, sedangkan perempuan dan anak-anak tidak. Walaupun kekerasan yang berlebihan sudah tidak diperbolehkan, namun kekerasan fisik masih menjadi sebuah kewajaran, untuk menghukum istri dan anak-anak.

Jika seorang pria diketahui melakukan kekerasan yang berlebihan terhadap anggota keluarganya hingga menarik perhatian tetangganya, ia hanya perlu menguranginya dengan batasan yang lebih wajar. Dengan kata lain, sanksi sosial terhadap KDRT masih belum terbentuk. Perempuan juga tidak diperbolehkan untuk menggugat cerai atau meninggalkan rumah.

 

5. Abolitionism (abad ke-19)

Budaya kekerasan mulai berubah, ketika munculnya gerakan penghapusan perbudakan yang terjadi di abad ke-19 di Amerika. Selain itu, hak-hak lain seperti hak untuk memilih, juga mulai diangkat, melalui Seneca Falls Convention untuk hak perempuan di 1848 dan Proklamasi Emansipasi di 1863. Masyarakat Amerika mulai menganggap hak dari perempuan dan juga people of color sebagai sesama manusia, dan bukanlah hanya sebatas properti dari laki-laki kulit putih.

Salah satu titik balik atas persepsi KDRT terjadi di tahun 1871, ketika negara bagian Alabama menghukum George Fulgham, seorang mantan budak yang menganiaya istrinya. Pengadilan menyatakan bahwa seorang perempuan yang telah menikah, juga dilindungi oleh hukum, sebagaimana orang lain di dalam masyarakat. Dengan momentum tersebut, pergerakan melawan kekerasan dalam rumah tangga mulai digaungkan, dan diterapkan ke seluruh negara bagian.

 

6. Masa sekarang (abad ke-20)

Di abad ke-20 ini, hak dan perlindungan perempuan semakin berkembang dengan pesat. Masyarakat juga secara sadar mengenali akan bahaya dari KDRT terhadap perempuan. Di tahun 1970, Amerika Serikat mulai membuka tempat penampungan pertama untuk korban KDRT, yang diikuti oleh beberapa negara lain. Di tahun 1990, PBB juga memutuskan bahwa KDRT merupakan permasalahan internasional terhadap hak asasi manusia.

Walaupun pemerintah sudah melarang laki-laki untuk menganiaya istri mereka, permasalahan ini bukanlah hal yang mudah untuk dituntaskan. Kini, KDRT tidak lagi dibatasi oleh kekerasan fisik, namun juga memanipulasi psikis, dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya, yang sering dianggap sebagai cara laki-laki untuk unjuk kekuatan dan wewenangnya.

Salah satu kasus KDRT yang paling menghebohkan di tahun 2022 ini adalah kasus Johnny Depp dan Amber Heard, yang tidak hanya mengandung kekerasan fisik, namun juga kekerasan psikis.

Hubungan dan lingkungan rumah tangga yang sehat, didasari oleh perasaan kasih sayang dan cinta yang tulus antar anggotanya. Banyak kisah mengenai cinta yang sudah ada bahkan sejak awal peradaban manusia. SImak “Kisah Cinta dari Masa ke Masa” berikut ini.

Daniel Hamiaz

Daniel Hamiaz

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.