Ilmu ekonomi klasik selalu beranggapan bahwa setiap orang pasti akan selalu mengambil keputusan paling rasional dan paling menguntungkan. Misalnya saja seperti hukum ekonomi dasar, permintaan vs penawaran.
Namun demikian, faktanya – meski mungkin tidak setiap orang tidak mau mengakuinya – kita, manusia juga seringkali mengambil keputusan-keputusan yang irasional.
Tidak jarang kita berpikir bahwa kita sudah mengumpulkan semua informasi yang berguna dan mempertimbangkan semua aspek sebelum mengambil keputusan.
Namun, sayangnya, kenyataannya kita tidak akan pernah bisa mengumpulkan semua informasi dan mempertimbangkan semua aspek dalam setiap keputusan kita sehari-hari – termasuk dalam keputusan ekonomi. Hal inilah yang disebut dengan teori Bounded Rationality yang dicetuskan oleh Herbert Simon (1916 – 2011).
Mempelajari keputusan-keputusan irasional orang (dalam hal ini user atau pengguna) dalam aspek ekonomi itu adalah lingkup ranah Behavioral Economics.
Sebelum masuk lebih jauh, behavioral economics bukanlah ilmu yang menentang ilmu ekonomi klasik, namun ia bertugas melengkapinya dengan menjelaskan keputusan-keputusan irasional yang tak jarang diambil orang-orang, atau dalam hal ini, pasar.
Jadi, dengan kata lain, behavioral economics berusaha mengkombinasikan prinsip-prinsip dasar ilmu ekonomi dengan realita yang tidak jarang dipengaruhi oleh psikologi manusia. Atau, bisa juga, behavioral economics dipahami sebagai sebuah perspektif baru ilmu ekonomi dengan mempertimbangkan faktor psikologis dan kognitif manusia, sebagai pasar (target market).
Behavioral economics sendiri sebenarnya meliputi terlalu banyak aspek yang bisa dibahas dalam satu artikel – atau bahkan dalam satu buku ratusan halaman.
Namun demikian, saya akan mencoba mengambil sejumlah contoh yang menjadi perhatian dari para ahli behavioral economics sehingga Anda bisa lebih mudah memahami ilmu yang sangat menarik dan berguna ini.
1. Anchoring Bias
Ketika membuat sebuah keputusan, kita cenderung untuk bergantung pada satu informasi yang telah kita ketahui sebelumnya.
Misalnya, ketika Anda ingin membeli ponsel baru, Anda akan cenderung mencari ponsel dari brand yang sama dengan yang Anda gunakan sekarang – dengan catatan Anda tidak dikecewakan dengan ponsel tersebut.
Bagi Anda yang memang gemar dengan gadget, Anda mungkin tetap akan cari tahu produk-produk dari pabrikan lainnya namun, kemungkinan besar, Anda juga akan cari tahu model terbaru dari brand yang sudah Anda kenal sebelumnya.
Contoh lainnya dari anchoring bias ini adalah soal harga. Kita tidak jarang berpikir bahwa semakin mahal sebuah produk, semakin bagus pula produk tersebut. Hal ini jugalah yang seringkali digunakan oleh perusahaan untuk meningkatkan image produk mereka.
Salah satunya adalah brand ponsel asal Tiongkok yang dibanderol dengan harga di atas produk-produk merek Tiongkok lainnya. Tidak sedikit dari orang-orang yang berpikir bahwa brand tersebut adalah brand premium – padahal faktanya, spesifikasi dan fungsinya, tidak jauh berbeda dari merek-merek lainnya.
Kasus lainnya yang juga sering terjadi di sekitar kita adalah saat kita tawar menawar harga di pasar atau di toko. Tidak jarang para penjual membuka harga di atas yang harga yang sebenarnya diharapkan.
Jadi, ketika Anda berhasil menawar dengan harga yang lebih murah, Anda akan merasa senang. Padahal, bisa jadi, harga yang Anda tawar tadi adalah harga yang sebenarnya diharapkan sang penjual di awal.
2. Herd Instinct
Manusia adalah mahluk sosial. Kita seringkali berpikir – meski kadang tanpa sadar – jika banyak orang melakukan hal tersebut, berarti hal tersebut pasti benar (atau paling tidak, tidak salah).
Contohnya saja, seperti ‘hobi’ membunyikan klakson kendaraan saat di perempatan meski lampu lalu lintas belum berubah jadi hijau.
Selain itu, manusia juga ingin dikategorikan atau diasosiasikan ke dalam satu kelompok atau komunitas tertentu.
Lalu, bagaimanakah hal ini bisa dimanfaatkan dari sisi behavioral economics?
Pernahkah Anda mendengar sebuah iklan yang mengatakan, “9 dari 10 orang menggunakan produk X”? Amazon juga menggunakan strategi ini dengan mencantumkan jumlah pengguna yang telah membeli sebuah produk.
Pasalnya, ketika kita tahu bahwa ada ribuan atau jutaan orang menggunakan sebuah produk tertentu, terkadang kita langsung beranggapan bahwa produk tersebut memang bagus.
Richard Thaler, seorang profesor Behavioral Science and Economics dari University of Chicago, menuliskan dalam bukunya yang berjudul Nudge (2008) bahwa dengan cara yang tepat (nudge) kita dapat membuat orang melakukan hal yang kita inginkan tanpa mengubah atau membatasi pilihan yang ada sebelumnya. Inilah yang disebut dengan Nudge Theory.
Richard Thaler juga memberikan contoh berkaitan dengan Herd Instinct tadi ketika menyelesaikan masalah pajak dengan menggunakan nudge.
Richard dan timnya menemukan kalimat yang tepat untuk meningkatkan pembayaran pajak di satu kota, “Anda adalah sejumlah kecil minoritas dari kelompok orang-orang yang tidak membayar pajaknya tepat waktu.”
Hasilnya, dengan hanya mengubah kalimat tersebut, pembayaran pajak meningkat sebesar 5%. Pasalnya, sadar atau tidak sadar, banyak orang tidak ingin menjadi bagian dari minoritas.
3. Cognitive Bias
Sama seperti Confirmation Bias yang saya tuliskan beberapa waktu lalu, Cognitive Bias juga merupakan bagian dari subyektifitas kita yang seolah mengatakan bahwa kita selalu berpikir rasional.
Namun faktanya, kita seringkali tidak konsisten dalam mengambil keputusan meski opsi yang diberikan sebenarnya sama saja – tergantung dari bagaimana opsi tersebut direpresentasikan ke kita.
Misalnya saja seperti ini, jika ada sebuah undian dengan 2 iklan sebagai berikut, manakah yang lebih memikat banyak orang?
A. 1 dari antara 1000 pengirim yang beruntung akan mendapatkan payung cantik ekslusif merek XXX
B. 999 pengirim tidak akan mendapatkan hadiah utama berupa payung cantik eksklusif merek XXX
Kemungkinan besar, banyak orang akan lebih tertarik ketika melihat iklan A padahal faktanya kemungkinan menangnya sama-sama 1/1000. Hal ini yang disebut dengan Framing Effect.
Lalu ada juga Loss Aversion, yang dirumuskan pertama kali oleh Amos Tversky dan Daniel Kahneman, yang mengatakan bahwa orang lebih cenderung untuk menghindari kerugian ketimbang mendapatkan keuntungan. Karena secara psikologis, kerugian dirasakan 2x lebih kuat daripada keuntungan.
Contoh, Anda tentunya tahu dengan perdebatan kebijakan pemerintah soal ‘Hemat Kantong Plastik’ yang mengharuskan Anda membayar Rp 200 untuk setiap kantongnya jika Anda berbelanja tanpa membawa tas atau kantong sendiri.
Bagaimana jika dibalik dengan kebijakan, “Anda akan mendapatkan Rp 200 jika Anda membawa kantong plastik sendiri saat berbelanja”.
Kemungkinan besar, program tersebut tidak akan berjalan sama sekali atau malah tidak akan ada yang tahu. Nominalnya sama-sama Rp 200 namun yang satu Anda dirugikan dan yang satunya Anda diuntungkan.
Kebijakan ini sebenarnya sudah pernah diujikan di supermarket-supermarket di Amerika dan kebijakan membayar kantong plastik terbukti lebih efektif ketimbang kebijakan memberi imbalan saat membawa kantong sendiri.
Penutup
Akhirnya, seperti yang saya bilang di awal, behavioral economics adalah sebuah ilmu yang begitu kompleks dan luas namun juga menarik dan berguna untuk dipelajari. Jadi, artikel ini hanyalah sebuah pengantar yang sederhana, yang semoga dapat memancing ketertarikan Anda belajar lebih jauh.
Namun dari artikel sederhana ini, ketika Anda di posisi sebagai konsumen, Anda bisa mengingat kembali untuk menyadari ilusi-ilusi kognitif apakah yang mungkin mempengaruhi Anda ketika ingin mengambil keputusan.
Sebaliknya, jika Anda berada di posisi penjual atau profesional (sebagai marketing atau sales misalnya), adakah strategi dari perspektif behavioral economy yang belum dicoba, yang mungkin bisa meningkatkan popularitas ataupun penjualan Anda?
Jadi, selamat berpikir…!
Sumber dan bacaan lebih lanjut:
– Behavioral Economics – whatiseconomic.org
– An Introduction to Behavioral Economics – by Alain Samson, Ph.D.
Jakarta, 27 April 2016
Yabes Elia