Bekerja Sesuai Passion, Pantaskah untuk Dikejar?

“Do what you love, and you’ll never work another day in your life.”

Di dunia kerja, Anda mungkin pernah mendengar nasihat tersebut. Implikasi dari nasihat itu adalah betapa pentingnya untuk mencari pekerjaan yang Anda sukai. Tidak bisa dipungkiri, ada banyak orang yang berandai-andai untuk menjadikan hobinya sebagai sumber pemasukan. Jujur saya, berapa banyak gamers yang berharap bisa menjadikan bermain game sebagai pekerjaan? Sementara orang-orang yang punya hobi kreatif — menulis, menggambar, merekam video — pasti pernah bermimpi untuk membuat masterpiece yang bisa disandingkan dengan One Piece, Lord of the Rings, atau meraih sukses layaknya film-film Marvel Cinematic Universe.

Memang, memilih pekerjaan yang kita sukai, atau bekerja sesuai dengan passion, punya efek positif, baik pada diri pekerja ataupun performanya di pekerjaan. Menurut Mihaly Csikszentmihalyi, psikolog dari Hungaria, menikmati pekerjaan yang sedang kita lakukan memungkinkan kita untuk “being in the zone“. Sehingga, kita bisa sepenuhnya fokus pada pekerjaan dan ide kreativitas mengalir begitu saja.

Ketika Anda menyukai pekerjaan Anda, Anda akan mengerjakan tugas dengan hati senang. Dan setelah Anda berhasil menyelesaikan pekerjaan Anda, Anda akan merasa puas, yang akan memberikan semangat untuk bekerja lebih baik lagi. Melakukan pekerjaan yang kita sukai juga bisa membuat kita bekerja tanpa merasa terbebani.

Csikszentmihalyi mengungkap, ketika Anda memiliki persepsi positif akan pekerjaan Anda, kemungkinan besar, Anda dapat lebih fokus untuk menyelesaikan tugas Anda. Pasalnya, memiliki pemikiran negatif tentang pekerjaan saja sudah akan menghambat Anda dalam menyelesaikan tugas Anda.

Satu hal yang harus diingat, tidak semua pekerjaan terasa menyenangkan untuk dilakukan. Sebaliknya, saya rasa, kebanyakan pekerjaan mengharuskan para pekerja untuk melakukan hal-hal yang membosankan: membalas email, memeriksa tren media sosial, melakukan presentasi, dan hal-hal kecil lainnya. Untuk mengatasi masalah ini dan membuat pekerjaan terasa lebih menyenangkan untuk dilakukan, Anda mungkin harus mengubah persepsi Anda tentang pekerjaan yang Anda punya.

Sebagai dokter, seseorang akan bisa langsung merasakan efek dari pekerjaannya ke masyarakat luas. | Sumber: Pexels

Dalam blog-nya, University of South California (USC) menuliskan bahwa untuk mengubah persepsi Anda tentang pekerjaan, Anda harus mencari tahu tentang bagaimana tugas Anda mempengaruhi perusahaan. Walau sejujurnya, saya agak skeptis dengan cara ini. I don’t think I’ll feel motivated if I know that I contribute to less-than-one-percent of the company’s revenue. Kecuali, jika Anda memang bekerja untuk lembaga nirlaba yang memang fokus untuk mensejahterakan masyarakat. Atau, pekerjaan Anda punya kaitan langsung dengan kelangsungan hidup banyak orang, seperti dokter.

Untungnya, ada cara lain untuk membuat Anda lebih tertarik dengan pekerjaan Anda: kolaborasi dengan kolega Anda. Studi yang dilakukan oleh Paul A. O’Keefe, Assistant Professor of Psychology di Yale-NUS, menunjukkan bahwa ketika para pekerja berkolaborasi, hal ini tidak hanya membuat mereka lebih tertarik dengan tugas yang mereka kerjakan, tapi juga meningkatkan antusiasme mereka untuk bekerja.

Bekerja sesuai dengan minat memang bisa membuat kita lebih menikmati pekerjaan, yang pada akhirnya, bisa mendorong produktivitas. Sayangnya, tidak semua orang bisa berkarir di bidang yang mereka minati. Bekerja sesuai passion tampaknya kemewahan yang hanya bisa dinikmati oleh para pekerja kerah putih. Dan, faktanya, membangun karir berdasarkan passion juga ternyata, punya dampak negatif.

Bekerja Sesuai Passion: Realitas tak Seindah Harapan

Bisa bekerja sesuai dengan passion memang terdengar ideal. Namun, tidak semua hobi bisa dijadikan pekerjaan. Sekalipun bisa, berapa besar kemungkinan seseorang bisa mendapatkan pemasukan yang memadai dari hobi itu?

Mari jadikan gamers sebagai contoh. Bagi gamers yang ingin bisa hidup dari bermain game, salah satu opsi karir yang bisa mereka bangun adalah menjadi pemain profesional. Namun, berapa besar kemungkinan seseorang bisa bergabung dengan organisasi esports besar yang bisa membayar para pemainnya dengan stabil?

Sebagai gambaran, Monthly Active Users (MAU) dari Mobile Legends di Asia Tenggara mencapai 70 juta orang. Hampir setengah dari total MAU itu berasal dari Indonesia. Berarti, jumlah pemain Mobile Legends di Indonesia hampi mencapai 35 juta orang.

Sementara itu, di Mobile Legends Professional League Indonesia (MPL ID), hanya ada 9 tim yang bertanding. Sekalipun setiap tim memiliki 10 pemain, hal itu berarti, hanya ada 90 pemain Mobile Legends yang dapat berlaga di liga nasional Mobile Legends. Jadi, kemungkinan seorang pemain Mobile Legends bisa menjadi bagian dari tim MPL sekitar 0.0000026%.

Persebaran pemain Mobile Legends. | Sumber: Suara

Opsi lain yang gamers bisa ambil adalah menjadi game streamer. Namun, jika dibandingkan dengan streamer yang sukses, ada berapa banyak orang yang telah mencoba untuk menjadi streamer dan gagal?

Sekalipun seseorang berhasil membangun karir di bidang yang sesuai minatnya, hal ini juga bukan jaminan dia akan betah di pekerjaan tersebut. Karena, terkadang, sebuah industri punya sisi gelap yang hanya bisa diketahui setelah seseorang menjadi bagian dari industri tersebut. Sebagai contoh, animator anime yang mendapatkan bayaran sangat rendah.

Data dari Grand View Research menunjukkan, nilai industri anime di 2022 mencapai US$28,61 miliar. Tidak hanya itu, tingkat Compound Annual Growth Rate (CAGR) dari industri anime, pada periode 2023 sampai 2030 adalah 9,8%. Hal itu berarti, ke depan, industri anime masih akan terus tumbuh, dengan tingkat pertumbuhan yang hampir mencapai dua digit.

Industri anime di Amerika Serikat. | Sumber: Grand View Research

Apakah hal itu berarti para animator, yang punya peran penting dalam industri anime, punya gaji yang memadai? Oh, tidak semudah itu, Ferguso. Survei dari JAnicA pada 2015 menunjukkan, gaji rata-rata untuk seorang animator yang berumur 20-an adalah US$800 per bulan. Tidak jarang, orang-orang yang baru menjadi animator mendapatkan gaji US$270 per bulan.

Sementara itu, dalam artikel wawancara dengan Tetsuya Akutsu, New York Times menulis bahwa Akutsu mendapatkan gaji sebesar sekitar US$1.400 sampai US$3.800 per bulan. Padahal, Akutsu dianggap sebagai “top animator”. Berdasarkan Anime News Network, Akutsu sudah ikut serta dalam membuat puluhan anime, termasuk dua movie dari Digimon Adventure tri, Crayon Shin-chan, Made in the Abyss, dan Tokyo Ghoul:re. Terkadang, dia bahkan menduduki jabatan director untuk beberapa franchise anime populer.

Lalu, bagaimana dengan illustrator yang tidak punya nama? Gaji yang mereka dapat hanya sekitar US$200 per bulan. Jika ditukar ke Rupiah, US$200 hanyalah Rp3 juta-an, tidak lebih dari UMR DKI Jakarta, yang hampir mencapai Rp5 juta. Apakah mendapatkan bragging right — “Hey, saya jadi animator untuk anime A, loh!” — lebih penting dari gaji yang manusiawi?

Dampak Negatif Bekerja Sesuai Passion

Ketika Anda melakukan sesuatu yang Anda sukai, Anda pasti akan merasa senang. Jadi, jika Anda cukup beruntung untuk bisa bekerja sesuai passion, Anda seharusnya selalu merasa senang, kan? Sayangnya, hidup tidak sesederhana itu.

Berdasarkan pengalaman pribadi, saya bisa bilang bahwa saya tidak selalu menikmati pekerjaan saya, yang melibatkan tulis-menulis, walau menulis adalah hobi saya. Salah satu alasannya, jenis tulisan yang saya suka tulis dan tulisan yang harus saya tulis berbeda. Pada awalnya, bahasa yang digunakan pun berbeda.

Sebagai hobi, saya suka menulis cerita dalam Bahasa Inggris, dengan gaya penulisan yang sering nyeleneh. Sementara pekerjaan saya menuntut saya untuk menulis dalam Bahasa Indonesia dengan tata bahasa yang rapi. Alasan lainnya, karena saya tidak suka dengan topik yang harus saya bahas. Malah, terkadang, artikel yang saya harus tulis bertentangan dengan pandangan saya secara pribadi.

Menulis sebagai hobi dan menulis sebagai profesional sangat berbeda. | Sumber: Pexels

Pengalaman saya memang sangat spesifik dan saya harap, tidak dialami oleh banyak orang. Kabar buruknya, dampak negatif dari bekerja sesuai passion tidak terbatas pada pengalaman pribadi saya saja. Meniti karir berdasarkan hobi juga bisa memunculkan masalah lain, tidak peduli bidang apa yang Anda tekuni.

Erin Cech, Associate Professor of Sociology di University of Michigan menjelaskan, ketika seseorang membangun karir di bidang yang dia sukai, identitasnya sebagai individu akan terikat erat dengan perannya sebagai pekerja. Dengan begitu, dia akan kesulitan untuk menemukan identitasnya di luar pekerjaan.

Selain itu, orang-orang yang bekerja sesuai passion punya potensi lebih besar untuk dieksploitasi oleh perusahaan. Dalam The Journal of Personality and Social Psychology, dijelaskan bahwa perusahaan sering menggunakan “passion” sebagai alasan untuk memberikan perlakuan tidak adil pada para pekerja. Contohnya, lembur tidak dibayar atau meminta pekerja untuk bekerja di hari libur.

Pola perilaku ini terjadi karena studi menunjukkan, orang-orang yang memang bekerja sesuai dengan passion mereka cenderung lebih rela untuk lembur tanpa dibayar. Dan perusahaan menganggap, karena seorang bekerja sesuai dengan hobinya, maka menyelesaikan pekerjaan akan menjadi “reward” bagi pekerja. Sehingga, perusahaan merasa bahwa mereka tidak perlu lagi memberikan insentif lain, seperti uang lembur.

Padahal, secara umum pun, perusahaan sudah punya ekspektasi bahwa pekerja akan rela untuk bekerja lebih keras menghabiskan waktu lebih banyak demi perusahaan, tanpa insentif apapun. Karena itulah, muncul istilah “quiet quitting“.

Quiet quitting bisa diartikan sebagai momen ketika seorang pekerja hanya memberikan usaha minimal dalam menyelesaikan tugasnya. Jadi, jika perusahaan sudah punya anggapan bahwa seorang pekerja biasa harus memberikan extra effort, bisa Anda bayangkan ekspektasi perusahaan pada pekerja yang dianggap bekerja sesuai passion-nya.

Walau, harus saya akui, saya memang punya bias terkait hal ini.

Akhir kata…

Pekerjaan tetap pertama saya adalah menjadi penulis di majalah T3 dan PC GAMER Indonesia. Ketika itu, saya merasa bahwa saya sangat beruntung. Karena, pekerjaan saya menggabungkan dua hal yang memang saya suka: game dan tulis-menulis. Pada awalnya, saya merasa senang, karena kemampuan saya soal menulis sudah lumayan terasah karena memang hobi. Dengan begitu, belajar untuk menulis artikel yang bisa ditayang di majalah terasa tidak terlalu sulit; learning curve-nya tidak terlalu tajam.

Namun, setelah bertahun-tahun bekerja sebagai penulis, saya sadar: menulis sebagai hobi dan menulis sebagai seorang profesional berbeda. Ketika menulis tidak lebih dari hobi, saya bisa menulis kapanpun saya mau, tentang apapun yang sama mau. Jika saya suka cerita tentang found family, ya saya bisa menulis tentang hal itu. Peduli apa saya dengan permintaan pasar? Toh, saya menulis untuk kepuasan saya sendiri.

Baca Juga: When Art for Art’s Sake is Becoming a Myth…

Tapi, lain halnya ketika saya menulis sebagai profesional. Dengan meniti karir sebagai penulis, saya harus terus menghasilkan artikel secara rutin. Mood atau tidak mood, suka atau tidak suka dengan topik yang diangkat, saya harus menyelesaikan artikel dalam batas waktuyang sudah ditentukan. Pada akhirnya, hal inilah yang membuat saya merasa: “Ah, menulis sudah tidak lagi terasa fun.”

Sumber header: Pexels

Ellavie Ichlasa

Ellavie Ichlasa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.