Kenapa banyak pekerja suka loncat-loncat sekarang ini? Kenapa banyak pekerja hanya punya pengalaman 1-2 tahun di kantor yang sama alias sering pindah-pindah? Pernahkah pertanyaan ini terbersit di kepala Anda? Berapa lama Anda sudah bekerja di perusahaan tempat Anda bekerja sekarang ini? Berapa lama Anda bekerja di kantor sebelumnya?
Bisa jadi saya yang salah, tapi dari yang pengamatan saya, kebanyakan para pekerja atau profesional sekarang ini hanya memiliki pengalaman kerja di satu kantor yang sama sekitar 1-2 tahun.
Saya sering iseng bertanya tentang hal ini pada kawan-kawan saya yang bisa dibilang mid-level dalam perjalanan karirnya.
Kebanyakan, jawaban dari kawan-kawan saya ataupun sejumlah pendapat di dunia maya mengatakan hal ini disebabkan karena generasi sekarang alias generasi milenial lebih sulit loyal pada satu perusahaan.

Apakah benar demikian?
Well, mungkin saja tapi saya tidak tahu benar atau tidak karena saya belum pernah survey pekerja di usia berapakah yang kebanyakan pengalamannya bekerja hanya 1-2 di satu perusahaan.
Namun, dari pengalaman saya pribadi, pengalaman kerja saya yang lebih dari 2 tahun itu ya hanya di grupnya majalah T3 dan PC Gamer Indonesia, yaitu Desember 2008 – Desember 2014. Setelah itu, saya pindah dari perusahaan ke perusahaan lainnya dalam kurun waktu 1 tahun.
Saya juga ada kawan yang total pengalaman kerjanya setidaknya 8 tahun, pindah dari satu kantor ke kantor lainnya di kisaran 1-3 tahun.
Padahal, saya dan kawan saya tadi sebenarnya tidak bisa dikategorikan sebagai generasi milenial.

Saya kira salah satu penyebabnya adalah fakta yang menunjukkan industri di Indonesia sebenarnya sudah jauh berkembang dibanding tahun 2000an awal atau bahkan ’90an.
Kenapa saya bisa bilang demikian? Industri yang paling dekat dengan saya adalah industri media dan industri teknologi. Jika berbicara soal industri media, media online sekarang itu sudah banyak sekali, mulai dari yang perusahaan pribadi, korporasi, dan juga yang berbentuk startup.
Demikian juga dengan industri teknologi. Dulu belum ada istilah IoT (Internet of Things). Jaman saya masih kuliah awal-awal juga belum banyak merek ponsel asal Tiongkok yang masuk Indonesia.
Apalagi jika kita berbicara soal industri game dan aplikasi mobile yang merebak beberapa tahun belakangan.
Lalu apa signifikansinya?

Well, semakin banyak perusahaan berarti semakin banyak pilihan bagi para pekerja untuk loncat dari satu perusahaan ke perusahaan lainnya.
Misalnya saja seperti ini, dulu sebelum media online laris manis, mereka-mereka yang berhasil masuk ke grup-grup media besar semacam Kompas Gramedia atau Mugi Rekso Abadi (MRA) mungkin akan berpikir 2-7 kali jika ingin keluar.
Sekarang, para pekerja yang tertarik atau sudah masuk di industri media jadi punya pilihan lebih banyak selain grup-grup raksasa tadi.
Analogi yang pas soal ini juga bisa dilihat dari fenomena yang terjadi di industri game. Game-game jaman sekarang memiliki lifetime yang jauh lebih singkat dibanding game-game jaman saya masih kuliah atau bahkan sekolah.
Saat saya masih kuliah, jika saya ingin bermain game FPS multiplayer, saya tidak punya pilihan lain selain bermain Counter Strike karena dulu belum ada Point Blank ataupun Overwatch.
Mundur ke belakang lagi, game-game konsol legendaris macam Super Mario Bros., Sonic, ataupun Final Fantasy juga kemungkinan besar dimainkan oleh semua gamer karena memang pilihannya sangat terbatas.
So, What?

Entahlah, namun menurut saya, sebenarnya fenomena ini mungkin bisa digunakan untuk intropeksi diri bagi pemilik perusahaan, bos-bos, ataupun para pengambil keputusan di satu perusahaan.
Kenapa? Karena pekerja sekarang, terlepas dia generasi apa, juga bisa dibilang lebih ‘manja’. Gaji kecil, aturan kantor yang tidak relevan, atasan yang galak, ga ada karyawan cewek / cowok yang bisa digodain (kwkwkwkw) atau alasan-alasan lain yang tadinya bisa dimaklumi (atau lebih persisnya disabar-sabarkan) jadi tidak dapat diterima.
BACA JUGA: LABOR MARKET: SEBUAH PENGANTAR
Argumen saya tentang perkembangan industri tadi juga sejalan dengan yang diklaim pemerintah soal angka pengangguran di Indonesia yang mengatakan angka pengangguran di Indonesia di 2016 mencapai titik terendah sejak 1998.
Jadi sebenarnya, jika saya boleh mengambil pelajaran dari artikel ini, dengan begitu banyak ‘aroma’ negatif tentang negara kita di jejaring sosial belakangan ini, ada hal yang bisa disyukuri, ada hal positif yang bisa disadari, setidaknya bagi mereka-mereka yang masih atau sudah berada di usia produktif dan juga suka loncat-loncat dari satu kantor ke kantor lain.
Jakarta, 17 Juni 2017
Yabes Elia