Siapa sih yang ga pernah marah? Jika Anda mengaku belum pernah marah, Anda adalah pembohong terbesar dan terburuk yang pernah ada wkwkkwkwkw…
Saya juga sebenarnya sering marah meski sering tidak diluapkan. Namun saya sadari bahwa ternyata kemarahan saya itu berbeda-beda. 4 tipe kemarahan yang saya tuliskan di sini adalah kemarahan yang memang pernah saya rasakan dan sadari.
Saya cukup yakin bahwa Anda juga pasti pernah merasakan salah satu atau bahkan semuanya. Lalu apa gunanya tahu tipe kemarahan yang berbeda-beda ini?
Well, kemarahan yang tak terkendali itu bisa mengganggu produktifitas Anda dan merusak hari Anda. Lagipula, saya selalu percaya bahwa menyadari rasa itu penting dilakukan untuk mengenali diri lebih dekat dari sebelumnya.
Harapan saya, siapa tahu tulisan ini berguna bagi Anda dalam mengontrol amarah. Kecuali, jika Anda memang hobi dan ingin marah-marah tiap hari, silahkan tutup artikel ini. Saya tidak akan menghakimi Anda kwkwkwk…
1. Marah pada Dunia dan Segala Isinya
Pernahkah Anda merasa jadi orang paling menderita di seluruh alam semesta? Marah pada hidup karena merasa hidup itu tidak adil?
Saya pernah, tepatnya ketika ibu saya meninggal saat saya masih duduk di bangku kuliah semester 2. Saya merasa marah pada dunia, tuhan, alam semesta, nasib atau apapun namanya.
Saya merasa hidup itu tidak adil dan tidak seharusnya saya diperlakukan demikian…
Saya rasa banyak orang pernah merasakan hal yang sama, entah apapun itu penyebabnya.
Untungnya, waktu itu saya kenal filsafat berkat kawan-kawan saya. Saya banyak baca-baca soal Socrates dan kawan-kawannya dari Dunia Sophie, karya Jostein Gaarder.
Saya jadi sungguh menyadari bahwa diri saya bukanlah pusat alam semesta dan terlalu naif rasanya jika saya menuntut dunia dan segala isinya untuk bisa mengikuti semua keinginan saya.
Mata saya benar-benar terbuka dan melihat bahwa ada buanyaaaaak sekali hal di luar sana yang ternyata lebih menarik dari hidup saya untuk diperhatikan.
2. Marah pada Ide yang Tidak Sesuai dengan Idealisme Pribadi
Idealisme itu sebenarnya apa sih? Pada dasarnya, saya kira idealisme itu sebenarnya hanyalah opini pribadi, keyakinan atas satu hal yang kita anggap benar.
Saya lulusan Sastra dan saya kira hampir semua lulusan Sastra sangat menjunjung tinggi idealisme nya masing-masing.
Dulu, saya sangat tidak suka dengan media online yang hanya mementingkan kuantitas ketimbang kualitas.
Sebelumnya saya juga tidak suka dengan game-game Free-to-Play karena kebanyakan lebih peduli pada berapa banyak uang yang bisa dihasilkan ketimbang memberikan pengalaman bermain yang tak akan lekang oleh waktu.
Dulu saya marah ketika melihat kedua hal itu… Sekarang? Idealisme saya sih sebenarnya masih sama tapi saya sudah tidak marah lagi karena saya bisa memaklumi hal tersebut.
Ada 2 hal penting yang membuat saya bisa mengerti dan memaklumi 2 hal yang tidak saya sukai sebelumnya.
“What I’ve learned is that life is a balance between idealism and realism.” – Peter Hook
Pertama, saya dan keluarga saya butuh makan jadi saya harus ‘melacur’… owkaokaokwaokwokwa
Saya adalah seorang penulis / gamer yang hidup di era digital yang berarti 2 hal tadi tidak bisa dihindari jika saya masih ingin tetap mencari sesuap nasi nyahahaha...
Kedua, saya belajar untuk berganti perspektif. Saya mencoba melihat dua hal tadi dari sisi yang berbeda, bukan dari sisi user tapi jadi sisi profesional. Saya coba belajar dan cari tahu dengan sungguh-sungguh kenapa 2 hal tersebut bisa terjadi.
BACA JUGA: PERSPEKTIF
Nyatanya, media berbasis kuantitas dan game bermodel Free-to-Play itu memang masuk akal diterapkan di era sekarang – meski sebenarnya opsi alternatifnya juga masih masuk akal.
Entahlah, saya pribadi merasa bahwa kemarahan itu terjadi ketika kita tidak benar-benar tahu tentang ide, kepercayaan, idealisme, konsep, ataupun cara yang tidak kita sukai.
Jika saja, Anda dan saya mau belajar tentang ide, konsep, ataupun keyakinan yang tadinya bertentangan dengan apa yang kita yakini sebelumnya, saya kira kita jadi bisa menyikapinya dengan lebih bijaksana.
3. Marah pada Mereka yang Mengusik Ego Kita
Mungkin kemarahan ini hampir sama dengan yang saya sebutkan sebelumnya. Namun bedanya, kemarahan ini lebih bersifat personal.
Misalnya, Anda marah terhadap pengendara yang ada di depan Anda yang tidak segera bergerak meski lampu lalu lintas sudah hijau.
Anda marah terhadap mereka-mereka yang membuat pekerjaan Anda jadi lebih sulit dan merepotkan.
Anda marah terhadap orang-orang yang menjatuhkan kredibilitas Anda di mata rekan-rekan kerja lainnya.
Anda marah terhadap guru-guru yang mengganggu waktu tidur siang atau waktu baca komik Anda saat sedang berada di kelas wkwkwkkwkwkw…
Itu tadi contoh-contoh yang memang saya pernah rasakan semuanya, termasuk soal tidur siang dan baca komik di kelas ^,^. Saya kira Anda bisa menyebutkan contoh-contoh lainnya sendiri, berdasarkan pengalaman pribadi Anda.
Dari pengalaman pribadi saya, cara saya mengatasi kemarahan ini juga sebenarnya sama dengan tipe kemarahan yang saya tulis sebelumnya, yaitu mencoba memposisikan diri sebagai mereka-mereka yang mengusik ego Anda tadi alias berganti perspektif.
Entahlah, bagi saya pribadi, hal ini sebenarnya sangat manjur namun, masalahnya, tak jarang ego kita yang mencegah kita untuk mau memposisikan diri sebagai orang lain.
4. Marah pada Diri Sendiri
Hal ini juga pernah saya rasakan. Saya marah terhadap kebodohan, arogansi, kebebalan, kemalasan, ataupun ketidaktahuan saya tentang banyak hal.
Biasanya, kemarahan ini terjadinya setelah Anda menyadari dan merasakan konsekuensi dari sikap dan perilaku konyol tadi.
Kemarahan ini juga sebenarnya yang paling sering saya rasakan karena sampai detik ini saya merasa lebih mudah menuntut diri sendiri ketimbang menuntut dunia dan semua hal yang ada di dalamnya.
BACA JUGA: OVERTHINKING
Solusi saya soal kemarahan ini ya lebih berhati-hati dalam melakukan segala sesuatu, berpikir sebelum bertutur, dan bekerja semaksimal mungkin – meski, jujur, saya masih saja sering melakukan banyak kesalahan dan juga akhirnya marah-marah terhadap diri sendiri itu tadi…
Penutup
Entah, mungkin ada dari Anda yang tidak setuju dengan saya, namun saya pribadi berpikir bahwa hidup itu terlalu singkat untuk dihabiskan dengan marah-marah, apapun itu alasan dan jenisnya.
Ada jutaan hal yang lebih menarik untuk dilakukan atau dipelajari yang bisa jadi terhambat dan tertunda hanya karena kita terlalu sibuk untuk marah-marah.
Jakarta, 14 Juni 2017
Yabes Elia