Berpikir kritis itu tidak sama dengan hobi berdebat dan mengkritik orang lain. Critical thinking ini awalnya berangkat dari ranah filsafat namun ia dapat dikembangkan untuk ranah-ranah ilmu lainnya ataupun dibiasakan untuk kehidupan kita sehari-hari.
Definisi Critical Thinking yang paling mudah dicerna adalah yang saya temukan di satu jurnal filsafat ini. Anda bisa membacanya jika ingin mempelajarinya lebih dalam.
Critical Thinking (atau Berpikir Kritis) adalah sebuah kemampuan untuk berpikir jernih dan rasional tentang apa yang harus dilakukan atau apa yang ingin diyakini sebagai kebenaran.
Mari kita langsung masuk ke contoh agar lebih mudah dipahami.
Andaikan saja sebuah percakapan berikut ini:
Di satu sore, jam 18:00, dua orang kawan sedang bercakap-cakap.
A : Slamet tidak akan datang ke pesta nanti malam
B : Kenapa?
Dari pertanyaan B tentang mengapa Slamet tidak berangkat ke pesta tadi, A bisa menjawab dengan 3 pernyataan.
1. A: Saya tidak suka Slamet. Dia kalau bercanda suka jorok.
2. A: Slamet itu pemalu. Ia tidak suka berada di keramaian.
3. A: Slamet sedang berada di Jerman.
Sebelum kita membahas lebih jauh, ketiga pernyataan tadi bisa disebut dengan yang namanya Argumen. Argumen adalah satu rangkaian pernyataan yang digunakan untuk mendukung pernyataan selanjutnya (misalnya, kesimpulan).
Nah pertanyaannya, manakah yang termasuk argumen yang baik dari 3 pernyataan tadi?
Sebelum salah kaprah, yang dimaksud dengan argumen baik dan buruk di sini bukanlah soal moral, etika, agama, atau norma sosial. Namun argumen yang baik adalah argumen yang mendukung kesimpulan, sedangkan argumen yang buruk adalah argumen yang tidak mendukung kesimpulan, ataupun pernyataan lanjutan.
Dengan kata lain, argumen yang baik harus memiliki premis yang membuat sebuah kesimpulan memiliki kemungkinan besar akan jadi kenyataan (fakta), atau benar adanya.
Dari definisi tadi, hanya 1 pernyataan yang bisa dianggap sebagai argumen yang buruk, yaitu jawaban pertama.
Pasalnya, jawaban pertama tidak menjelaskan alasan kenapa Slamet tidak akan datang ke pesta. Kecuali, sebelumnya sudah ada tambahan premis atau informasi yang menyatakan bahwa yang mengadakan pesta tadi adalah si A dan ia yang mengundang semua tamu yang hadir.
Sebaliknya, jawaban nomor 2 dan 3 bisa dianggap sebagai argumen yang baik karena ia bisa menjelaskan ketidakhadiran Slamet di pesta nanti malam.
Jawaban nomor 2 misalnya, jika memang argumen A tentang si Slamet benar, premis bahwa Slamet itu pemalu dan tidak suka keramaian, ada kemungkinan bahwa Slamet memang tidak akan datang ke pesta – karena pesta, biasanya, identik dengan keramaian.
Sedangkan jawaban nomor 3, jika pernyataan A yang mengatakan bahwa Slamet masih berada di Jerman itu benar, kemungkinan besar, ia tidak memiliki waktu yang cukup untuk terbang dari Jerman dan menghadiri pesta.
Namun demikian, ada perbedaan besar antara jawaban nomor 2 dan 3. Mari kita bahas keduanya lebih dalam.
Di jawaban nomor 2, jika premis yang menyatakan bahwa Slamet itu pemalu dan ia tidak suka keramaian itu benar adanya, kedua premis tersebut tidak menjamin bahwa kesimpulannya pasti terjadi.
Pasalnya, bisa saja Slamet, meski pemalu, mengatasi rasa malunya dan memutuskan ia akan tetap datang ke pesta nanti malam. Argumen yang seperti ini dinamakan dengan argumen Ampliative (ampliatif).
Ampliative Argument: Any argument that is not deductively valid, or deductively invalid, is called an ampliative argument. The term refers to the fact that the conclusion of such argument goes beyond, or amplifies upon, the premises.
Sedangkan jawaban nomor 3, jika premis yang menyatakan bahwa Slamet masih berada di Jerman itu benar, maka Slamet dapat dipastikan tidak akan dapat hadir ke pesta – karena perjalanan dari Jerman ke Indonesia itu rata-rata 13 jam, kecuali Anda bisa teleport kayak Son Goku.
Argumen dengan premis benar yang dapat menjamin kebenaran kesimpulannya dinamakan dengan argumen Deductive (deduktif).
Saya kira Anda akan setuju dengan saya jika saya mengatakan bahwa argumen deduktif itu lebih baik ketimbang yang ampliatif. So, kita bisa sama-sama membiasakan diri untuk berpikir dan mencari argumen yang deduktif sebelum melakukan atau mempercayai sesuatu.
Akhirnya, seperti yang saya tuliskan di judulnya, tulisan ini hanyalah sebuah pengantar sederhana yang saya harapkan untuk memancing ketertarikan Anda untuk mencari lebih dalam tentang Critical Thinking. Mungkin lain kali, saya akan bahas Critical Thinking ini lebih jauh.
Jakarta, 11 November 2016
Yabes Elia