Isu pemanasan global merupakan sebuah permasalahan yang mulai disadari dalam beberapa dekade terakhir. Persoalan ini berpotensi memusnahkan makhluk hidup di bumi ini jika tidak segera diatasi. Banyak solusi yang mulai diupayakan, seperti melakukan penghijauan kembali, mengurangi pemakaian plastik, mencari energi alternatif, hingga solusi ekstrem seperti perjalanan luar angkasa demi mencari planet baru yang bisa dihuni.
Demi tercapainya perjalanan luar angkasa yang sukses, banyak hal yang dipersiapkan, baik dari pihak negara hingga swasta. Salah satu perusahaan swasta ternama yang sedang mengupayakan hal tersebut adalah SpaceX milik Elon Musk, yang memiliki visi untuk menyediakan sarana perjalanan luar angkasa kepada masyarakat sipil – walau entah butuh berapa tahun lagi untuk mewujudkannya.
Selain cara dan metode perjalanannya, destinasinya juga menjadi hal yang ikut dibahas, mulai dari Bulan hingga Mars. Namun, apakah bisa perjalanan luar angkasa mampu mengatasi permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini?
Stephen Hawking menyatakan bahwa cara terbaik untuk melindungi masa depan umat manusia adalah dengan “menjajah” planet lain. Namun banyak filsuf yang tidak setuju atas pernyataan tersebut, salah satunya ialah Ian Stoner. Ian berpendapat bahwa manusia akan selalu bisa mengancam ekosistem sebuah planet beserta semua makhluk hidup yang ada di dalamnya. Dengan kata lain, manusia lah yang menjadi biang kerok atas semua permasalahan lingkungan yang terjadi saat ini.
Seorang ahli astronomi bernama Chris Impe menyatakan bahwa manusia sejak dulu memang memiliki hasrat untuk berjelajah dan mengambil resiko. Bahkan para peneliti menemukan bahwa kecenderungan tersebut terkandung di dalam DNA manusia sejak dulu. Banyak penjelajahan dan ekspedisi di dalam sejarah manusia yang memiliki dampak yang besar, sebut saja Marco Polo dari italia yang menjelajahi dataran Asia, Christopher Columbus yang sampai ke benua Amerika, Ibnu Battuda dari Maroko yang berhasil mencapai Amerika Utara, Spanyol, Arab, hingga Afrika.
Di Indonesia (yang dulu masih dikenal dengan Nusantara) juga memiliki sejarah perjalanan serupa, salah satunya adalah ekspedisi Pamalayu yang dilakukan oleh Kerajaan Singhasari di bawah perintah Raja Kertanagara. Ekspedisi tersebut dilakukan untuk mengantisipasi tentara Mongol dengan menguasai terlebih dahulu pulau Sumatra di bawah kerajaan Singhasari.
Perjalanan luar angkasa mulai dilakukan ketika terjadinya perang dingin antara Amerika Serikat dan Rusia (yang saat itu dikenal dengan Uni Soviet). Kedua negara besar tersebut saling berpacu untuk mengembangkan teknologi mereka, tak terkecuali berlomba untuk menjadi pertama yang mampu mengirimkan manusia ke luar angkasa. Karena perjalanan sejarah tersebut, perjalanan luar angkasa kerap dipandang sebagai kekuatan militer dan politik.
Dengan berjalannya waktu, kesan tersebut mulai berganti dengan isu perubahan iklim atau climate change yang berpotensi mengakhiri kehidupan dan makhluk hidup di dalamnya.
Sebagai catatan, penjajahan kolonialisme negara-negara barat memiliki andil besar dalam memulai fenomena ini. Seorang ilmuwan bernama Hadil Assali menjelaskan bahwa dulu kolonialisme barat beroperasi dengan sebuah paradigma, bahwa mereka menganggap bumi akan pulih dengan sendirinya, sehingga tidak perlu khawatir untuk mengeksploitasi alam sebebas-bebasnya.
Sebelum mengulang sejarah tersebut, tujuan dan motivasi dalam melakukan perjalanan luar angkasa harus benar-benar jelas. Dengan sifat destructive dan exploitative dari manusia itu sendiri, banyak yang menganggap perjalanan luar angkasa hanyalah sebuah upaya mengalihkan masalah ketimbang menyelesaikannya.
Kelly C. Smith, seorang filsuf asal Amerika Serikat, menyebutkan bahwa jika manusia tidak mampu menunjukkan untuk hidup harmonis dengan alam, maka mereka layak untuk punah, dan juga penjajahan terhadap planet lain akan dianggap sebagai tindakan yang tidak bermoral.
Filsuf lain bernama Arna Ness, yang mencetuskan istilah “Deep Ecology”, menyatakan ketika dihadapkan dengan pertanyaan “Apakah alam secara hakikatnya berharga?” atau mungkin “Apakah alam baru berharga ketika ia mampu memenuhi kebutuhan dan keinginan dari manusia?”. Arna Ness berpendapat bahwa:
- Alam sangatlah berharga dengan nilai mereka masing-masing, terlepas dari kegunaanya bagi manusia.
- Kekayaan dan keberagaman alam akan berpengaruh terhadap nilai dari alam itu sendiri.
- Manusia tidak berhak untuk merusak kekayaan dan keberagaman alam hanya untuk memuaskan kebutuhan mereka.
Fondasi Econails menyatakan bahwa perjalanan luar angkasa merupakan hal yang “percuma”. Kegiatan manusia telah terbukti menghancurkan lingkungan, dan dengan perjalanan mereka mencari planet baru ini, hal tersebut kemungkinan besar akan terulang. Dengan kata lain, sebelum manusia mendapatkan planet baru, sebaiknya mereka memperbaiki situasi yang ada di bumi terlebih dahulu.
Ada juga dilema mengenai sulitnya untuk mengubah perilaku manusia, khususnya dalam mengeksploitasi alam. Kelly C. Smith juga menyatakan rasa pesimisnya terhadap kemampuan manusia dalam menjaga tanggung jawab mereka ketika mendapatkan planet baru. Namun di sisi lain, keberlangsungan hidup manusia juga akan menjadi taruhannya.
Tantangan ini mungkin masih cukup lama untuk ditemui, namun ada baiknya kita melihat apa yang sedang dilakukan oleh SpaceX. Elon Musk selaku pemilik, pernah menyatakan bahwa sejarah menunjukkan dua jalan tentang kelestarian hidup manusia, yang pertama adalah dengan tetap menetap di bumi, mencoba untuk menjaganya, namun dengan resiko kepunahan yang tak terhindarkan.
Jalan lainnya adalah dengan menjadi sebuah peradaban yang bisa melakukan perjalanan ke luar angkasa. Pemilik Twitter tersebut pernah menjabarkan misinya untuk mengirimkan 1 juta penduduk ke Mars pada tahun 2050. Ia juga berniat untuk membantu mereka yang tidak memiliki biaya untuk menyanggupi perjalanan tersebut, dengan memberikan pinjaman, sehingga perjalanan luar angkasa yang diimpikan Elon ini bisa dinikmatinoleh semuanya.
Walau terdengar sebagai sebuah rencana yang matang dan visioner, namun hal tersebut mirip sekali seperti kolonialisme yang ada di jaman dulu, yang membutuhkan banyak tenaga kerja sebagai buruh di awal kolonialisme Amerika, yang akhirnya digantikan oleh perbudakan manusia. Sejarah tersebut sangatlah kelam dan kejam jika akan terulang lagi di masa yang akan datang.
Sejumlah pihak yang menentang rencana tersebut menganggap bahwa rencana ini sangatlah tidak humanis dan kurang mementingkan lingkungan dari planet tujuan, dan bahkan alam semesta. Sebaliknya, NASA yang baru saja mengemgangkan teknologi untuk menangkis asteroid dari luar angkasa. Dengan teknologi tersebut, bumi akan lebih aman dari ancaman dari luar angkasa
Jadi, sebenarnya manusia juga mampu melindungi sebuah planet, baik dari dalam maupun luar. Walaupun sejarah mengatakan bahwa manusia memang makhluk perusak, namun perlu menjadi catatan juga bahwa sebenarnya kerusakan dari aktivitas manusia tersebut disebabkan oleh sejumlah kecil manusia saja.
Menurut sebuah laporan pada tahun 2015, orang-orang terkaya yang ada saat itu menyumbang sekitar 10% dari emisi gas dari rumah kaca, sedangkan 1% dari orang-orang tersebut bertanggung jawab hampir dua kali lipat dari 50% orang termiskin yang ada di dunia, dalam kasus perubahan iklim.
Seorang akademisi John Donahue menyebutkan bahwa moralitas dan nilai dari manusia akan berubah-ubah seiring dengan perubahan ruang dan waktu. Ketika kita melihat kembali nilai-nilai yang dipegang leluhur, terdapat banyak sekali perubahan, seperti cara berpakaian, pekerjaan, hingga budaya dan sosial. Dengan demikian, potensi perubahan perilaku manusia juga patut diperhitungkan.
Dengan menjadikan keberlangsungan hidup manusia sebagai prioritas utama, perjalanan luar angkasa bisa dipandang sebagai sebuah alternatif daripada sebagai sebuah upaya untuk meninggalkan bumi yang sudah rusak. Selain itu, jika perjalanan luar angkasa berhasil diwujudkan sebagai transportasi konvensional, maka populasi di bumi pun dapat dikurangi, yang juga akan menjadi hal yang lebih baik untuk lingkungan di planet ini.
Selain space travel, teknologi yang sedang menjadi topik pembahasan dalam beberapa waktu terakhir adalah kecerdasan buatan atau artificial intelligence. Bahkan, tahun 2023 diprediksi sebagai tahun terobosan dari teknologi cerdas ini.