Inteligensi #1 – Nature vs. Nurture

inteligensi-1-zilbest

Sebelum Anda membaca artikel ini lebih jauh, ada sebuah pertanyaan menarik yang bisa Anda pikirkan terlebih dahulu… “Apakah kepintaran dan sifat seseorang merupakan efek dari keturunan (biologis atau genetis) atau pengaruh lingkungan (sosiologis atau psikologis)?”

 Nature vs Nurture

Pertanyaan asal atau faktor yang menentukan siapakah diri kita sebenarnya sudah lama diperdebatkan, bahkan sejak ratusan tahun silam. Perdebatan tersebut kini lebih populer dengan istilah ‘Nature vs Nurture’.

Nature di sini berarti orang-orang yang percaya bahwa siapa diri kita, kepintaran, sifat, tingkat kreatifitas, dan yang lain-lainnya, ditentukan dari faktor genetik, biologis, keturunan, atau istilah kerennya, ‘bawaan orok’…

Di sisi lain, Nurture adalah mereka yang percaya bahwa faktor lingkungan, seperti pengalaman masa kecil, sekolah, budaya tempat kita dibesarkan, dkk, merupakan penentu dari sifat dan kepintaran seseorang.

Di jaman modern sekarang ini, mungkin memang pemahaman tentang intelegensi sudah jauh lebih berkembang karena banyak orang sudah percaya bahwa sifat dan kepintaran seseorang merupakan kombinasi antara faktor genetik dan lingkungan – walaupun tidak sedikit juga yang, secara sadar atau tidak sadar, masih percaya bahwa satu faktor lebih dominan ketimbang faktor lainnya.

Namun, beberapa abad silam, pemahaman atas sifat dan kepintaraan seseorang terkadang terlalu ekstrim sehingga tak jarang berakhir dengan sejarah yang kelam.

inteligensi-zilbest

Di akhir abad 19, Francis Galton (1822 – 1911), seorang antropolog dari Inggris yang juga sepupu dari Bapak Evolusi alias Charles Darwin, percaya bahwa kepintaran seseorang merupakan bawaan dari lahir atau hasil keturunan.

Karena itulah, ia menyarankan untuk melakukan selective breeding alias menganjurkan mereka-mereka yang pintar untuk berpasangan dengan yang juga pintar sehingga menghasilkan keturunan dengan tingkat intelegensi yang tinggi sehingga pada akhirnya akan tercipta sebuah generasi yang penuh dengan orang-orang jenius.

Paham tentang bagaimana manusia dapat meningkatkan tingkat intelegensi populasinya dengan mendorong orang-orang tertentu dan melarang kelompok orang-orang lainnya untuk berketurunan disebut dengan “eugenics.” Istilah tersebut dicetuskan sendiri oleh Galton – Galton jugalah yang mencetuskan istilah “Nature vs Nurture”.

Kemudian, seiring waktu paham ini semakin berkembang ke arah yang lebih kelam. Pada paruh pertama abad 20, pemerintah Amerika Serikat menggunakan skor test intelegensi sebagai patokan untuk memaksa 60.000 orang jadi steril alias mandul. Di tahun 1970an, sejumlah besar wanita-wanita keturunan Afrika, Pribumi Amerika, dan Amerika Latin di Amerika Serikat juga disterilkan secara paksa.

Namun, masih ada lagi kasus paham “eugenics” yang lebih ekstrim dari 2 kasus di atas, yaitu Hitler dengan pasukan Nazi-nya, yang percaya bahwa ras tertentu lebih superior ketimbang ras lainnya dan menjadikannya justifikasi untuk menghapuskan ras yang lebih inferior.

eugenics-zilbest

Mungkin memang kasus pemahaman tentang sifat dan intelegensi seseorang sekarang sudah lagi tidak seekstrim jaman dulu. Diskriminasi tingkat intelegensi berbasis genetik, seperti ras misalnya, juga sudah dianggap tabu dan tidak layak dipertimbangkan – walaupun, secara sadar atau tidak, masih juga dipercayai oleh sebagian besar orang.

Namun begitu, diskriminasi antara tingkat intelegensi seseorang dengan orang yang lainnya sekarang bergeser ke arah “nurture” dengan pendidikan akademis sebagai justifikasi. Misalnya saja, gaji seorang lulusan S2 dari luar negeri, kemungkinan besar akan lebih besar ketimbang gaji seseorang yang lulus SMA atau SMK. Sejumlah perusahaan pun menaruh syarat, “Lulusan Universitas Terkemuka Lebih diutamakan” saat membuka lowongan pekerjaan.

Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda percaya bahwa kepintaran seseorang merupakan hasil proses belajar selama bertahun-tahun? Atau Anda percaya bahwa memang ada orang-orang yang dilahirkan lebih pintar dari yang lainnya?

 

Yabes Elia

Jakarta, 25 Februari 2016

Yabes Elia

Yabes Elia

An empath, a jolly writer, a patient reader & listener, a data observer, and a stoic mentor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.