Beberapa hari yang lalu, guru favorit saya menulis sebuah status di Facebook-nya demikian, “how well our students learn? Seberapa bagus siswa kita belajar?” Saya pun jadi tergelitik dengan kalimat tersebut.
Saya memang tidak punya latar belakang akademis soal pendidikan atau pun punya pengalaman sebagai guru namun, paling tidak, saya masih ingat betul apa yang saya rasakan sewaktu saya sekolah atau kuliah dan saya sudah menjadi seorang ayah selama 5 tahun lebih. Dari sudut pandang itulah, saya akan mencoba menjawab pertanyaan tadi.
Satu hal yang saya yakini adalah setiap orang, mulai dari anak-anak sampai dengan orang tua sekalipun,akan berani dan ikhlas melakukan sesuatu ketika mereka memiliki motivasi dari kegiatan tersebut.
Orang tua rela menjadi penjilat atasan demi mendapatkan bonus tahunan yang lebih besar agar bisa memberikan suntikan dana lebih besar untuk belanja hari raya. Para remaja,yang biasanya paling bersemangat soal berpacaran, rela melakukan berbagai hal demi menarik perhatian dambaan hati mereka. Harga diri pun terkadang akan jadi tak bernilai ketika kita berambisi mendapatkan sesuatu yang kita inginkan. Saya kira di sinilah yang menjadi salah satu penyebab banyak orang – tidak hanya hanya siswa – tidak mau belajar.
Banyak orang merasa tidak ada reward yang jelas dari sebuah proses belajar. Hal ini semakin diperburuk dengan peran guru dan orang tua yang tidak memberikan mereka inspirasi atau contoh reward yang masuk akal bagi anak yang bisa didapatkan dari proses belajar.
Biasanya, yang sering saya dengar, alasan dan tujuan belajar yang ditawarkan oleh orang tua dan guru adalah supaya pintar, agar mendapatkan pekerjaan yang bergaji besar, tidak memalukan nama keluarga, atau alasan-alasan standar lainnya. Mungkin, bagi mereka yang sudah lulus kuliah – yang sudah merasakan sulitnya bersaing dengan jutaan lulusan sarjana lainnya dalam mencari kerja – alasan-alasan klasik orang tua tadi akan jadi masuk akal.
Namun saya kira siswa SMA ke bawah, atau bahkan sebagian besar mahasiswa sekalipun, masih belum dapat memasukkan hal-hal tadi ke dalam logika mereka, terutama bagi mereka yang berasal dari keluarga menengah ke atas yang tidak pernah pusing dengan masalah keuangan.
Sebuah ide yang saya coba tawarkan di sini adalah mencoba memahami logika para siswa dan anak. Asumsi saya, guru dan orang tua adalah yang seharusnya lebih dewasa dan lebih bijak.
Jadi mereka, idealnya, bisa memahami pola berpikir mereka-mereka yang lebih muda. Jika para guru dan orang tua-nya saja tidak mau belajar (untuk memahami logika generasi yang lebih muda), bagaimana mungkin generasi yang lebih muda mau belajar?
Saya percaya teladan jauh lebih efektif ketimbang ribuan kata-kata. Saya kira saya punya sebuah cerita menarik bagaimana memancing ketertarikan anak untuk belajar sesuatu. Anak saya yang berusia 5 tahun sedang belajar membaca dan menulis.
Ketika dia mulai malas, saya mengatakan padanya, “kalau kamu ga mau belajar baca, kamu ga bisa lho mainan game-nya papa.” Dia pun kembali belajar.
Saya pun juga demikian, saya dulu belajar bahasa Inggris dengan tujuan untuk bermain game. Saya dulu berpikir, “jika saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan, saya tidak akan bisa mengalahkan musuh-musuh yang ada di sana.”
Anak dan siswa sebenarnya punya banyak sekali hal yang mereka perhatikan dan prioritaskan hanya saja hal-hal itu sangat jauh berbeda ketimbang orang dewasa. Mengetahui prioritas dan hal-hal yang menarik untuk para anak dan siswa tadi, menurut saya, adalah langkah pertama untuk membuat mereka tertarik untuk belajar lebih jauh.
Idola mungkin adalah salah satu contoh motivator yang paling sederhana bagi anak dan siswa. Banyak para cowo bersemangat untuk belajar bermain bola lebih lincah karena mereka ingin jadi seperti Lionell Messi. Mereka juga suka bermusik karena ingin dipuja seperti Maroon 5 dan kawan-kawannya.
Ironisnya, saya belum pernah menemukan seorang murid SMA atau yang lebih muda yang mengidolakan Socrates, Einstein, atau Bill Gates sekalipun yang jauh-jauh lebih modern. Mungkin, jika saja para guru dan orang tua lebih banyak bercerita hal-hal yang menarik (bukan hanya teori-teori mereka saja) tentang tokoh-tokoh yang berjasa terhadap ilmu pengetahuan, akan muncul ketertarikan dari para kaum muda untuk menjadi seperti tokoh-tokoh jenius yang saya sebutkan tadi.
Sayangnya, banyak murid dan anak yang menganggap belajar sebagai sebuah kewajiban semata atau bahkan malah siksaan. Saya kira orang tua dan guru merupakan salah satu faktor paradigma menyesatkan tersebut. Mereka tidak pernah bercerita bagaimana Bill Gates bisa menjadi orang terkaya di dunia karena kepintarannya. Mereka juga tidak pernah menujukkan bagaimana J. K. Rowling menjadi salah satu orang terkaya di Inggris karena menulis.
Saya juga tidak pernah mendengar seperti apakah Einstein yang sebenarnya sangat eksentrik di kehidupan sehari-harinya saat saya masih di bangku sekolah. Di sekolah, saya hanya dengar teori-teori dan teori. Well, saya memang setuju teori memang penting dan harus dipelajari tapi, hanya saja, sudut pandang pengejaran pemahaman teori yang digunakan sekarang yang mungkin kurang menarik bagi kaum muda.
Di sisi lain, satu hal tidak akan pernah terjadi jika hanya dari satu sisi. Jika Anda adalah salah satu yang masih malas belajar – belajar apapun itu – mungkin sudah saatnya Anda berubah.
Saya sangat percaya bahwa hal apapun yang kita pelajari tidak akan pernah berakhir pada kesia-siaan. Entah belajar sastra, fisika, matematika, musik, atau apapun itu akan memberikan pengaruh ke isi kepala Anda.
Sebenarnya mungkin memang teori-teori fisika, kimia, dan kawan-kawannya tidak akan berpengaruh secara langsung terhadap kebutuhan praktis kita sehari-hari. Namun pernahkah Anda berpikir bagaimanakah Einstein bisa sampai pada kesimpulan teori relativitasnya? Bagaimana Newton bisa menciptakan rumus ‘aksi=reaksi‘? Logika seperti apakah yang menghantarkan mereka sampai ke titik tersebut? Logika dan cara berpikir itulah yang saya yakin akan sangat berpengaruh ke kehidupan praktis kita sehari-hari.
Akhirnya, saya kira ide yang saya tawarkan hanya akan berujung pada omong kosong tanpa contoh konkrit. Karena itu, Youtube adalah salah satu contoh tempat yang paling menarik untuk belajar banyak hal dengan metode yang jauh lebih menarik ketimbang di sekolahan – setidaknya bagi saya pribadi. Memang, di sana ada video-video yang tidak berguna dan menghabiskan waktu.
Namun di sana ada banyak orang-orang yang mendedikasikan waktu dan tenaga mereka untuk membuat proses belajar jadi lebih mengasikkan. Coba lihat channel Vsauce yang mencoba mengajarkan banyak hal dengan gaya bahasa yang lebih menarik ketimbang gaya bahasa yang ada di sekolahan. Ada juga TheSpranglerEffect yang memperlihatkan berbagai eksperimen ilmu pengetahuan yang tidak membosankan untuk ditonton. Satu contoh lagi adalah Science Friction yang mencoba menghubungkan dunia komik dengan dunia ilmu pengetahuan.
Masih banyak lagi channel-channel menarik yang mungkin bisa dijadikan referensi bagi para guru dan orang tua, ataupun para siswa untuk mengubah paradigma proses belajar menjadi sebuah kesenangan. Toh, memang pada dasarnya, belajar adalah sebuah proses yang menyenangkan: sebuah proses yang akan membawa kita mengenal diri kita dan dunia kita lebih baik dari sebelumnya.