Bagaimana marah-marah di sosmed bisa jadi eksploitasi bisnis?
Amarah merupakan salah satu jenis emosi yang dimiliki oleh seorang manusia normal. Setiap orang tentu pernah mengalami yang namanya marah, kesal, tersinggung, dlsb. Namun menjadi marah dan melampiaskannya, merupakan dua hal yang berbeda. Bahkan tingkat kesehatan dan kedewasaan seseorang, bisa dinilai dari caranya melepaskan amarahnya. Apalagi sejak era media sosial, rasa-rasanya kemarahan semakin banyak, mulai dari hal yang sepele, hingga masalah yang cukup serius seperti aktivisme dan kriminalitas.
Nah, sadarkah Anda bahwa media sosial secara diam-diam mengeksploitasi hal tersebut? Bagaimana mereka menjadikan reaksi panas penggunanya menjadi keuntungan bagi perusahaan mereka masing-masing?
Bagaimana Amarah Terpicu di Otak Manusia?
Sebelum kita masuk ke alasannya, mari kita bahas sedikit mengenai bagaimana reaksi alami yang terjadi di dalam otak, ketika seseorang marah.
Ketika terdapat tanda-tanda awal dari stres, oksigen dan glukosa akan mengisi Prefrontal Cortex, yakni bagian otak tempat pikiran rasional berada. Setelah itu, Amygdala akan mulai mengambil alih. Amygdala merupakan bagian otak yang bertanggung jawab atas emosi manusia. Lalu Hypothalamus akan mengeluarkan hormon-hormon dari Adrenal Glands, yang akan mempersiapkan orang tersebut untuk meledakkan amarahnya.
Ketika melepaskan amarah, sebenarnya otak juga memiliki reward system, yang akan mengeluarkan dopamine – zat kimia yang akan memberikan kesenangan kepada otak. Maka dari itu, orang yang melampiaskan amarahnya, akan merasa “senang” atau mungkin lega.
Ketika seseorang mulai melampiaskan kemarahannya, sesungguhnya tercipta sebuah siklus yang akan terus menerus memberikan sinyal stress dan dopamine secara bergantian. Menjadi marah adalah hal yang wajar bagi seorang manusia, dan emosi tersebut bukanlah sesuatu yang benar-benar negatif. Hanya saja, pelampiasannya yang kurang baik, bisa saja berdampak terhadap orang lain, lingkungan, dan tentunya diri sendiri.
Jadi, ketika seseorang melampiaskan amarahnya, ia akan mendapatkan sebuah kesenangan atau kelegaan, karena otak memang memfasilitasi hal tersebut. Jika demikian, mengapa marah-marah di Internet terasa lebih nikmat?
Video di bawah ini merupakan salah satu contoh pelampiasan emosi yang kurang baik, dan mungkin cenderung lucu dan unik.
Amarah dan Marah-marah di Internet
Ketika seseorang melampiaskan amarah di media sosial, mereka sebenarnya ingin orang lain membagikannya, atau setidaknya meresponnya. Mereka biasanya mencari pembenaran atas kekesalannya, dan ingin mencari orang-orang lain yang sependapat atau bernasib sama dengan mereka. Sayangnya, bukannya mereda, namun seringkali kemarahan tersebut malah akan terus membesar. Apalagi, untuk sebagian besar penggunanya, internet menawarkan satu hal yang spesial, yakni anonimitas, dan penuangan amarah ke media sosial nampaknya menjadi tempat yang tepat.
Kimberly M. Christopherson, seorang psikolog dari Morningside University, menemukan bahwa anonimitas secara online, memberikan tiga hal: recovery (pemulihan), catharsis (pembersihan atau pelepasan), dan autonomy (kemandirian).
Recovery merupakan perasaan rileks setelah secara aktif memikirkan situasi seseorang. Catharsis merupakan sebuah pelampiasan emosional, dan Autonomy merujuk kepada perbuatan-perbuatan tidak terpuji tanpa adanya ganjaran atau akibat. Jadi, setelah seseorang marah-marah, khususnya secara online, ia akan merasa lega, terisi kembali, dan merasa utuh.
Peran Follower terhadap Pelampiasan Kemarahan di Media Sosial
Menjadi marah, kesal, atau tersinggung memang merupakan hak semua orang. Namun bukan berarti jika Anda marah atau tersinggung, menjadikan Anda pihak yang benar. Apalagi ketika seseorang memiliki pengikut yang banyak, lalu sebagian besar dari mereka juga setuju dengan orang tersebut, apakah ia otomatis dibenarkan? Belum tentu. Sayangnya, Internet lebih memberikan ruang untuk membesarkan ego.
Ada juga sebuah bentuk pelepasan amarah, namun ketimbang hanya melampiaskannya saja, orang tersebut mengemasnya sebagai sebuah argumen moralitas. Fenomena tersebut dikenal dengan “Virtue Signalling” atau yang Justin Tosi dan Brandon Warmke sebut sebagai “Grandstanding”. Intinya, istilah tersebut digunakan untuk orang-orang yang tampil di ranah publik, dan membahas moral apa yang menurutnya baik, ketimbang membahas solusi yang nyata. Sedikit mirip dengan para SJW atau social justice warrior yang ada di Twitter.
Berprasangka baik atau berasumsi seseorang memiliki moral yang baik sebenarnya merupakan hal yang lazim. Menurut Behavioral Scientist, Nadav Klein dan Nicholas Epley, jauh lebih mudah untuk menilai orang lain ketimbang mengoreksi diri sendiri. Bahkan, orang-orang yang biasanya melakukan hal tersebut, berupaya untuk mempermalukan, mengintimidasi, dan bahkan mengancam pihak-pihak yang tidak mereka sukai. Ada juga motivasi lainnya, seperti untuk mengesankan atau mempengaruhi pengikut mereka, ingin mendapatkan perasaan lebih baik, hingga ingin menutupi kesalahan mereka.
William J. Brady and M.J. Crockett mengatakan bahwa kemarahan online tidak terlalu efektif untuk mengubah sesuatu di kehidupan nyata. Bahkan mereka menegaskan bahwa kemarahan tersebut lebih mudah mengarah kepada kekerasan secara nyata, daripada sebuah perubahan sosial yang real. Hal ini disebabkan karena akan sangat mudah bagi seseorang untuk tersinggung kepada seseorang, daripada memahami mereka.
Tujuan dari sebuah postingan di sosial media adalah untuk mendapatkan perhatian. Semakin tinggi tingkat keviralan dari sebuah postingan, maka tingkat ketersinggungan akibat kesalahpahaman juga akan semakin tinggi. Seringkali, indikasi kemarahan yang diakibatkan dari kesalahpahaman ini dimulai dengan kata-kata seperti “Jadi maksud Anda,” atau kata-kata lain dengan maksud serupa. Malah, orang-orang yang paling salah mengartikan sesuatu, lebih cenderung mempertahankan argumen mereka, akibat interpretasi mereka sendiri yang keliru sedari awal.
Fenomena tersebut dikenal dengan istilah “Belief Perseverance” atau “Conceptual Conservatism”. Menurut salah satu studi dari Stanford, “Belief atau keyakinan akan menjadi sangat tangguh, ketika dihadapkan dengan tantangan empiris yang logis, dan bahkan bisa menjadi lebih kuat ketika dihadapkan dengan informasi yang berseberangan.”
Leah Savion, seorang peneliti, juga mengatakan bahwa belief perseverance akan menjadi bukti utama bagi orang-orang yang memiliki pikiran yang lemah, yang sangat berpegang teguh akan keyakinan mereka, apalagi yang tidak berdasar. Jarang sekali sebuah postingan marah-marah, mengubah standpoint mereka, kecuali dipengaruhi faktor eksternal, seperti pem-bully-an masal.
Dunning-Kruger Effect
Jika argumen kemarahan tidak selalu dilandasi dengan sebuah fakta atau rasionalitas, maka apa yang mendasari keyakinan yang dimaksud? Karena Internet merupakan sebuah platform yang sangat luas, seringkali seseorang akan merasa terusik dengan sebuah argumen yang ia yakini tidak benar, terlepas dari pengertiannya terhadap topik yang disinggung. Apalagi akibat cepatnya penyebaran informasi, hal tersebut terkadang memberikan sebuah ilusi bagi seseorang untuk merasa lebih tahu dibandingkan orang lain. Orang-orang tersebut biasanya memiliki ciri-ciri dari Dunning Kruger Effect.
Dunning Kruger Effect adalah bias kognitif ketika seseorang yang tidak memiliki kemampuan mengalami superioritas ilusif, artinya ia merasa kemampuannya lebih hebat daripada orang kebanyakan. Bias ini diakibatkan oleh ketidakmampuan orang tersebut secara metakognitif untuk mengetahui segala kekurangannya.
Kata kuncinya yang ingin ditekankan di sini adalah percaya diri yang terlalu berlebih. Walaupun tidak semua, namun kepedean seseorang yang berlebihan, lalu dipadukan dengan pelampiasan amarah ke media sosial yang kurang baik, akan menjadi sesuatu yang tidak elok untuk dipandang.
Apakah Semua Kemarahan Online Buruk?
Jawabannya tentu tidak. Jika Anda masih ingat salah satu kontroversi yang terjadi di tahun 2022, kemenkominfo pernah menghentikan sejumlah website dan layanan, seperti PayPal, Steam, Yahoo, dll., yang tidak mendaftarkan diri ke PSE. Sontak hal tersebut memicu kemarahan publik selama beberapa hari. Banyak sekali postingan yang menyatakan kemarahan dan kekesalan terhadap kebijakan tersebut. Terlepas dari siapa yang benar dan salah, namun kesalahpahaman sangat banyak terjadi di kala itu.
Di luar negeri, movement Black Lives Matter (BLM) juga dimulai dari kemarahan sosial terhadap isu-isu rasial. Awal masalah yang terjadi dari penembakan dari seorang warga kulit hitam dari oknum polisi. Isu tersebut menjadi sangat besar saat itu, berkat adanya media sosial. Walaupun kejadian tersebut terjadi di Amerika, namun semangat pergerakan tersebut mampu menembus batas-batas negara dan bahkan mendunia.
Namun menurut Berge Apardian, platform digital sebenarnya dapat mengakibatkan erosi aktivisme, yang berpeluang untuk menghilangkan keinginan aktivisme secara konkrit. Ia juga menyatakan bahwa menaruh postingan di platform digital akan memelihara perasaan pencapaian palsu, yang merasa telah membuat sebuah perubahan, padahal nyatanya tidak, apalagi tanpa didukung oleh tindakan atau perbuatan.
Jika pernyataan di atas dikaitkan dengan pelampiasan amarah ke media sosial, maka hal ini akan menjadi siklus tanpa akhir. Bukankah hal tersebut adalah hal yang sia-sia dan hampa? Jika demikian, apa yang membuatnya berulang kali terjadi?
Mengapa Hal Ini Berulang Kali Terjadi?
Jawabannya cukup sederhana: Perusahaan media sosial tahu bahwa kemarahan dan kontroversi seringkali menjadi sesuatu yang viral, dan mereka secara aktif meraup keuntungan di sana. Apakah mereka dengan sengaja menciptakannya? Antara ya dan tidak. Namun jika pertanyaannya apakah mereka yang diuntungkan, maka jawabannya adalah 100% ya.
Platform media sosial seringkali memprioritaskan hal-hal yang mudah memicu emosi yang meledak-ledak. Apalagi media digital memungkinkan respon dan reaksi yang instan terhadap sebuah postingan, membuat sejumlah platform digital menjadi ajang mencari musuh, daripada menjadi sarana bersosialisasi, seperti tujuan semulanya.
Hal ini tentu sangat jauh berbeda dengan bentuk media konvensional lain, seperti stasiun radio, koran, dan televisi, yang memang dirancang untuk menarik perhatian saja. Jika ada yang tersinggung, mungkin efeknya tidak seberingas seperti sekarang.
Maria Golino, seorang ilmuwan dari Institute for Internet and the Just Society, menjelaskan bahwa algoritma memandang topik kontroversial sebagai hal yang positif, karena meningkatkan interaksi. Sayangnya, mereka tidak mengenal interaksi buruk dan baik. Semua jenis interaksi sangat baik untuk bisnis, dan strategi inilah yang sering mereka gunakan, karena sudah terbukti ampuh.
Rose-Stockwell, seorang penulis teknologi, mengamati bahwa reaksi emosional merupakan indikator yang kuat atas engagement, dan ketika seorang pengguna tersinggung dengan konten kontroversial, mereka dipastikan akan menghabiskan waktu yang lebih di platform tersebut, dan otomatis, iklan akan lebih sering terlihat di sana.
Algoritma juga mampu terlibat aktif dan reaktif terhadap respon dari penggunanya. Sebuah studi pada 2021 menyatakan bahwa pengguna Twitter yang sering mengungkapkan kemarahan dan sering menerima interaksinya, akan cenderung lebih sering mengungkapkan kemarahannya dari waktu ke waktu. Mengapa bisa demikian? Karena mereka diuntungkan dengan desain dasar dari media sosial.
Penutup
Bagi para perusahaan sosial media, memicu amarah bukanlah tujuan mereka. Emosi tersebut hanyalah dijadikan alat untuk memaksimalkan keuntungan. Untuk sekarang, amarah merupakan emosi nomor satu dalam mencetak keuntungan. Namun, hal ini bisa berubah di masa depan, jika ada emosi yang lebih menjual, contohnya seperti kesedihan.
Sebenarnya sah-sah saja bagi perusahaan-perusahaan tersebut, karena pada dasarnya perusahaan memang mencari keuntungan. Namun jika hal ini terlalu lama diperlihara, dunia yang penuh dengan amarah dan kebencian akan menjadi sebuah dunia yang tidak nyaman untuk ditempati.