Jika Anda sama seperti saya yang sudah jarang menggunakan SMS sebagai sarana komunikasi, kemungkinan besar, inbox pesan singkat Anda kebanyakan akan berisi iklan.
Misalnya, jika Anda menggunakan provider seluler yang sama seperti saya, saya yakin Anda pasti pernah melihat sebuah iklan situs e-commerce yang masuk ke inbox SMS Anda.
Beberapa hari yang lalu, seorang kawan saya juga memposting sebuah iklan yang ditampilkan sebelum tiba ke satu website yang ingin dituju – yang dipaksakan oleh sang penyedia layanan internet (penyedia layanan internet yang jangkauannya memang paling luas se-Indonesia namun sangat buruk kualitasnya – semoga Anda tahu penyedia mana yang saya maksud, tanpa saya harus menyebutkan namanya).
Iklan yang dipaksakan ini juga terjadi di beberapa portal berita nasional terlaris, yakni sebuah popup iklan segede gambreng yang menutupi isi berita dan tombol close-nya yang dibuat seimut mungkin.
Teorinya, kepuasan konsumen atau pengguna itu sebenarnya akan memberikan dampak positif besar untuk bisnis. Anda bisa membaca Strategic Customer Service dari John Goodman (2009) jika ingin cari tahu lebih jauh tentang teorinya.
Teori ini juga sebenarnya sudah dibuktikan kebenarannya dengan berbagai hasil penelitian.
Anda bisa melihat salah satunya di sebuah jurnal tulisan Lien‐Ti Bei (Professor of Dept. of Business Administration, National Chengchi University, Taiwan) dan Yu‐Ching Chiao (Assistant Professor of Dept. of Business Administration, National Chung Hsing University, Taiwan).
Jika Anda masih belum yakin dengan teori tadi, berikut ini adalah beberapa statistik hasil riset berbagai instansi yang saya temukan.
1. Untuk setiap 1 pelanggan yang komplain, ada 26 pelanggan lain yang kecewa tetapi memilih untuk diam – Lee Resource.
2. 96% pengguna yang kecewa tidak akan komplain, namun 91% dari mereka akan langsung pergi dan tidak akan kembali – 1st Financial Training Services.
3. Biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan pelanggan baru itu 6-7 kali lebih mahal ketimbang mempertahankan pelanggan lama – Bain & Company.
Itu tadi hanya secuil dari contoh statistik saja. Anda bisa melihat statistik lainnya yang lebih lengkap di 15 STATISTICS THAT SHOULD CHANGE THE BUSINESS WORLD – BUT HAVEN’T ataupun di sebuah artikel di Hufftington Post.
Ada juga satu esai pendek yang menarik dibaca jika Anda ingin tahu lebih jauh.
Jika Anda ingin membaca sumber yang lebih serius, Anda bisa mengunduh beberapa jurnal ‘pendek’ berikut ini:
– Customer-Firm Relationships, Involvement, and Customer Satisfaction
– Service Quality, Customer Satisfaction and Loyalty: A Test of Mediation
Itu tadi hanyalah secuil dari segudang teori dan hasil penelitian dalam bentuk artikel ataupun jurnal yang bisa saya temukan dan saya baca dalam waktu 180 menit. Saya yakin Anda bisa menemukan lebih banyak lagi jika Anda mau mengalokasikan lebih banyak waktu untuk belajar lebih jauh.
Jika memang teori dan hasil penelitian itu benar adanya dan Anda setuju dengan saya, lalu pertanyaan besarnya adalah: mengapa masih banyak perusahaan yang seakan tidak terlalu peduli dengan kepentingan ataupun keinginan pelanggan atau pengguna?
Sayangnya, saya juga tidak tahu jawaban pastinya kwkwkwkw…
Namun, ada satu teori dan fakta yang mengatakan bahwa semakin besar bargaining power satu organisasi ataupun perusahaan, semakin rendah pula kebutuhan mereka untuk memenuhi kepuasan pelanggan.
Bargaining power ini bisa bertambah besar dengan berbagai cara. Misalnya soal kasus provider internet tadi, kenyataannya mereka memang memiliki jangkauan wilayah yang paling luas di Indonesia – jadi ada banyak sekali pelanggan yang mau tidak mau harus menggunakan provider tersebut jika ingin mendapatkan akses internet.
Inilah yang dinamakan dengan Oligopoly, dimana pasar hanya dikuasai oleh sejumlah kecil penjual – atau malah monopoly jika melihat kasus provider internet yang memiliki akses ke seluruh daerah di Indonesia.
Selain oligopoly, salah satu aspek yang bisa membuat bargaining power semakin besar adalah faktor investasi kita sebagai pengguna – yang bisa berupa waktu, tenaga, ataupun uang.
Kasus provider seluler tadi bisa juga dilihat dari aspek ini. Misalnya, saya sudah menggunakan nomor seluler yang sama dari sejak tahun 2005 – yang berarti semua kenalan, koneksi, kawan, rekan kerja, dan semua orang yang saya kenal selama 11 tahun terakhir itu tahunya nomor itu. Jadi, saya tidak bisa begitu saja berganti nomor, meski dibombardir dengan iklan setiap hari.
Namun demikian, jika kita ingin fair dan melihat dari sudut pandang kepentingan perusahaan, saya juga dapat memahami kepentingan bisnis dan keinginan mencari profit. Saya bukanlah orang yang anti iklan ataupun anti profit.
Jika Anda sudah membaca semua artikel di zilbest.com ini, Anda juga akan menemukan beberapa artikel sponsor yang saya gunakan untuk mencari revenue – karena, faktanya, saya dan keluarga saya butuh makan (plus beli game kwkwkwkw) dan semua hal pasti butuh resources untuk dapat terus berjalan.
Namun demikian, saya mencoba mencari pendapatan dengan cara yang berbeda. Saya tidak menaruh iklan display (apalagi yang popup segede gambreng) karena saya sendiri jengah melihat yang seperti itu – plus saya lama bekerja di majalah jadi sedikit sensitif melihat desain visual yang jorok penuh iklan.
Saya lebih memilih untuk mengintegrasikan iklan ke dalam konten karena visualnya jadi tidak jorok dan Anda, sebagai pembaca, tetap bisa mendapatkan informasi yang berguna.
Meski begitu, saya tahu bahwa saya tetap tidak bisa menyenangkan semua pihak karena pasti ada juga yang tidak suka melihat iklan – meski sudah dikompromikan sedemikian rupa.
Tujuan saya juga sebenarnya memang bukan untuk menyenangkan semua pihak – karena menyenangkan semua pihak itu, kenyataannya, hanya dapat dilakukan dengan berbohong. Pilihan saya hanya saya sesuaikan dengan idealisme saya pribadi dalam mencari profit dan menyuguhkan konten.
Namun kondisi dan idealisme saya tentu saja sangat berbeda dan tidak bisa diterapkan di perusahaan ataupun organisasi yang lebih besar karena ada lebih banyak kepentingan yang harus dipikirkan di sana.
Perusahaan yang lebih besar harus memikirkan gaji karyawan yang memang tidak sedikit angkanya. Belum lagi jika ada faktor investor di sana, yang berarti harus ada modal plus bunga yang harus dikembalikan dalam jangka waktu tertentu.
Selain itu, jika ingin melihat dari sudut pandang bisnis, misalnya di kasus provider seluler yang saya sebutkan di awal artikel ini, saya cukup yakin, nama situs e-commerce tadi tidak akan setenar sekarang jika tidak dijejalkan di SMS iklan tadi yang dikirimkan ke puluhan juta pelanggan provider seluler itu secara berkala.
Hal ini berarti SMS iklan tadi, terlepas dari senang atau tidak senang kita sebagai pengguna, sangat berharga bagi perusahaan karena marketing dan brand awareness itu juga tidak murah dan tidak mudah.
Akhirnya, sebelum saya dan Anda sama-sama mengantuk ^,^, saya kira sebenarnya semuanya itu butuh kompromi namun bentuk kompromi yang ideal antara mencari keuntungan dan memuaskan pengguna itu memang tidak mudah dan membutuhkan waktu untuk dirumuskan.
Sayangnya atau bisa juga untungnya, kita semua diburu oleh waktu. Terlalu lama menemukan bentuk yang tepat itu bisa berakibat buruk yang sama fatalnya: ditinggalkan pengguna atau kehabisan modal untuk terus berjalan – atau malah keduanya karena dua hal itu saling terkait erat satu sama lain.
Bahkan ketika bargaining power itu sudah digenggam erat, peta pasar bisa saja berubah karena saingan-saingan baru itu pasti muncul cepat atau lambat.
Meski begitu, entahlah, saya juga masih sangat awam soal bisnis dan pengalaman saya di sisi produk dan pengguna itu juga baru 8 tahun. Namun, tujuan saya dengan artikel ini lebih kepada memancing rasa ingin tahu Anda terhadap pengaruh kepuasan pengguna dalam menentukan masa depan sebuah perusahaan ataupun produk.
So, selamat belajar…!
Jakarta, 20 November 2016
Yabes Elia