Jika diterjemahkan secara mentah-mentah, quiet firing memiliki arti pemecatan secara diam-diam. Tidak salah sih… Namun, sebenarnya apa itu quiet firing?
Sejak pandemi COVID-19 melanda, sejumlah perusahaan besar telah mem-PHK ribuan karyawannya untuk memotong pengeluaran. Salah satunya ada Meta (dulunya Facebook) yang memecat sekitar 11 ribu pekerjanya pada 9 November kemarin. Meskipun terbilang kejam untuk para pekerja, ternyata pemecatan juga memiliki sejumlah dampak negatif bagi perusahaan.
Menurut UU Nomor 3 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak jika terjadi pemutusan hubungan kerja. Hal ini tentu saja akan membuat perusahaan mengeluarkan banyak uang hanya untuk membiayai proses pemecatan. Selain hal keuangan, pemecatan ‘secara resmi’ juga akan menimbulkan berbagai masalah dalam aspek psikologis, hukum, hingga ke image perusahaan.
Nah, karena itu, para perusahaan besar menerapkan “quiet firing” untuk menghindari semua keruwetan itu. Bukan memecat secara diam-diam, quiet firing ini terjadi saat perusahaan dengan sengaja membuat lingkungan kerja tidak kondusif yang akan mendorong para pekerjanya untuk resign secara sukarela. Jika sang karyawan keluar dari pekerjaannya dengan kemauan sendiri, tentunya pihak perusahaan tidak harus membayar pesangon dan berhadapan dengan masalah lainnya.
Menurut studi yang dilakukan oleh Pew Research Center, pada 2021 lalu, sebagian besar pekerja keluar dari pekerjaannya disebabkan oleh beberapa alasan khusus seperti upah yang rendah, kurangnya peluang naik jabatan, atau merasa tidak dihargai. Beberapa karyawan juga merasakan hadirnya tanggung jawab dan pekerjaan baru yang berada di luar job-desk mereka. Itu tentunya membuat para karyawan kewalahan hingga merasa satu-satunya jalan keluar adalah resign.
Lebih ngerinya lagi, perusahaan-perusahaan besar seperti Tesla dan Meta bahkan telah berhasil mengadopsi quiet firing ini untuk mengurangi jumlah pekerjanya secara drastis. Nah, setelah mengetahui apa itu quiet firing, tentunya Anda juga perlu mengetahui apa yang harus dilakukan jika berhadapan dengan taktik busuk dari perusahaan ini.
Menurut Harvard Business Review, langkah pertama yang harus Anda lakukan adalah memastikan kembali situasi lingkungan kerja Anda secara rasional. Apakah benar Anda mengalami quiet firing atau hanya overthink? Kedua, Anda perlu menelusuri regulasi serta peraturan terbaru perusahaan seperti kriteria naik jabatan, hingga skala gaji dan stuktur kompensasi.
Ketiga, buatlah dokumentasi hal-hal baik seperti prestasi yang Anda lakukan. Sebaliknya, dokumentasikan hal buruk yang dilakukan oleh perusahaan. Jika memang Anda mengalami quiet firing, tentunya perusahaan bakal melakukan hal-hal negatif yang akan mendorong Anda keluar dari pekerjaan Anda.
Keempat, Anda dapat berbicara langsung dan jujur kepada atasan Anda serta berunding bagaimana cara membuat lingkungan kerja menjadi lebih nyaman. Jika itu tidak manjur, tentunya Anda juga dapat meminta tolong pengacara atau perwakilan serikat pekerja untuk menentukan cara terbaik untuk menanganinya.
Kelima, Anda bisa membalas aksi perusahaan ini dengan quiet quitting. Jika masih belum cukup, Anda bisa mengambil jalur hukum dan menuntut perusahaan karena telah mengubah kondisi kerja secara tidak adil. Tentu saja, untuk membuka perkara hukum, Anda perlu bukti-bukti konkret yang bisa didapatkan melalui dokumentasi tadi.
Pada awal bulan Oktober lalu, kami juga telah membahas tentang istilah quiet quitting yang menjadi bincangan hangat di media sosial. Sedikit rekap, quiet quitting ini terjadi saat karyawan hanya bekerja saat jam kerja kantor saja dan tidak mau berkontribusi lebih pada pekerjaannya. Apakah quiet firing ini merupakan balasan dari pihak perkantoran dalam menanggapi quiet quitting? Lebih lengkapnya bisa Anda baca di artikel satu ini.
Feat image credit: BBC