Salah satu metode belajar yang kita kenal paling dini adalah mencontoh, meniru, atau menjadikan orang lain sebagai teladan kita. Diakui atau tidak, disadari atau tidak, kita semua meniru orang tua kita – contoh paling sederhana adalah logat bicara kita yang kemungkinan besar sama dengan logat bicara orang tua kita.
Karena itulah, saya mencari mereka-mereka yang berpengalaman di bidangnya masing-masing untuk berbagi cerita di sini, dengan harapan kita bisa belajar banyak bersama dari cerita-cerita mereka.
Tenang saja, saya tidak akan mencari artis ataupun duta-duta selebriti yang cuma sekedar ngetop namun benar-benar mereka yang, bagi saya, memiliki capaian-capaian yang bisa dibanggakan dan diteladani.
Di rubrik Profil pertama kita kali ini, kita akan sama-sama belajar dari seorang pejuang literasi dengan segudang pengalaman dan kecintaan besar untuk terus merangkai cerita – apapun itu bentuknya.
Namanya adalah Sica Harum, Founder, CEO, dan Writer dari Arkea (PT. Artha Kreasi Aksara). Meski berbekal pengalaman selama 14 tahun di dunia tulis menulis, tak sedikit pun terbesit arogansi dari tuturnya ataupun penampilannya.
Jujur saja, mungkin itulah alasan terkuat saya kenapa saya mengagumi Mbak Ica – nama panggilannya. Karena biasanya, penulis itu egonya besar (termasuk saya nyahaha)…
Tak jarang juga saya temui para penulis atau mereka yang bergelut di bidang sastra dan sekitarnya pun berakhir jadi seorang elitist, yang tak mau berbagi ide dengan orang awam, yang menganggap remeh kaum mainstream, dan lain sebagainya.
Namun Mbak Ica sama sekali berbeda. Ia justru ingin mengajak semua orang, siapapun itu, untuk belajar menulis dan merangkai ceritanya masing-masing.
Mbak Ica memandang menulis sebagai proses katarsis yang bisa membantu tiap-tiap orang mengalami masa sulitnya sekaligus membagikan pengalaman tersebut sehingga bisa berguna bagi para pembacanya di kemudian hari.
“Kenapa aku suka nulis awalnya? Karena dulu, waktu kecil, aku berpikir aku bisa berbohong tanpa dimarahi ketika menulis haha…” Tuturnya. Lanjut Mbak Ica, “Aku dulu sempat kirim 2 puisi ke Bobo, yang bohong – tentang Pelangi – dan yang jujur yang benar-benar terjadi di halaman belakang rumah, eh yang dimuat ternyata yang Pelangi hehe…”
Buku pertama yang membuatnya jatuh cinta dengan tulis menulis adalah Alice di Negeri Ajaib (terjemahan dari Alice in Wonderland) karya Lewis Caroll.
Karena kecintaanya pada buku tadi, Mbak Ica pun cari tahu lebih jauh tentang penulisnya dan menemukan ternyata Lewis Caroll memiliki nama asli Charles Lutwidge Dodgson yang merupakan seorang ahli matematika.
Karena itulah Mbak Ica memutuskan untuk mengikuti jejak idola masa kecilnya dengan belajar matematika agar ia bisa pandai menulis – pikirnya waktu itu. Mbak Ica pun akhirnya masuk ITB jurusan Matematika.
Di sanalah, ia menemukan momen ‘spiritual’ pertamanya ketika kuliah aljabar linear yang membuktikan bahwa 0 x A = 0. Menurutnya, ketika itulah ia menemukan ‘tuhan’ bahwa 0 menghabisi semuanya namun ia tidak terlihat – dia kosong, dia tiada yang menghabisi semuanya.
Di ITB jugalah Mbak Ica mulai merasakan bagaimana nikmatnya belajar, bahwa belajar itu bukan sekedar mencari nilai, IPK, atau ranking, namun untuk memuaskan hasrat keingintahuan.
Di matematika juga lah ia menemukan poetry di mana-mana. Ia juga menyadari bahwa tidak ada hal yang abadi, tidak ada yang absolut ketika benar-benar belajar lebih dalam tentang matematika.
Mbak Ica, yang sudah malang melintang di industri media cetak dengan posisi terakhir sebagai Asisten Redaktur di Media Indonesia dan juga media digital ketika menjadi Content Editor untuk Wego, memulai Arkea karena ia beranggapan untuk meraih sesuatu yang ideal, ia harus punya capital.
Karena itulah akhirnya ia memutuskan untuk mendirikan Arkea yang bertujuan untuk memberikan ruang-ruang bagi mereka yang ingin belajar menulis buku dan menerbitkan buku-buku yang mungkin tidak akan disetujui oleh penerbit-penerbit besar.

Lain kali, saya akan menulis lebih jauh tentang Arkea ini karena konsepnya yang menarik dan unik namun akan terlalu panjang jika dibahas di artikel ini.
Bagi mereka yang ingin belajar menulis, Mbak Ica mengatakan hambatan terbesar yang biasanya dialami oleh orang-orang adalah mereka terlalu sibuk nge-judge diri sendiri. Mereka merasa tidak bisa, tidak percaya diri, ataupun tulisannya tidak layak dibaca.
Padahal sebenarnya menulis itu sebenarnya hanyalah salah satu skill komunikasi, yang bisa dipelajari tanpa harus ada tuntutan profesional – seperti belajar bicara meski bukan berprofesi sebagai MC.
Karena itu, tak ada salahnya juga jika misalnya Anda adalah salah satu yang tidak percaya diri tadi, Anda bisa meminta bantuan ke kawan-kawan yang bisa Anda percaya, atau bisa juga mengikuti workshop seperti di Arkea milik Mbak Ica untuk mengijinkan mereka menilai tulisan Anda.

“Bagaimana dengan tips menulis?” Saya pun bertanya. Mbak Ica mengatakan, biasanya, tantangan terberat itu bagaimana memulai sebuah tulisan.
“Cobalah untuk melihat benda-benda yang ada di sekitar, seperti laptop misalnya. Mulailah dengan kata ‘laptop’,” kata Mbak Ica. “Anda juga bisa memulai dengan pertanyaan ‘What If’ – gimana kalau seperti ini, gimana kalau gak gini…” Imbuhnya.
Akhirnya, jujur saja, saya percaya sebenarnya satu artikel untuk bercerita tentang seseorang itu sebenarnya merupakan sebuah penyederhanaan yang keterlaluan – karena hidup itu tidak bisa direduksi jadi sekian halaman ataupun jutaan kata-kata.

Namun dari profil Mbak Ica kali ini kita bisa belajar bahwa, pertama, apapun latar belakang pendidikannya, kita tetap bisa menghubungkan hal tersebut dengan hal-hal yang kita sukai – seperti matematika dengan menulis seperti Mbak Ica tadi.
Kedua, belajar itu bukanlah sekedar proses mencari nilai, IPK, atau hal-hal praktis yang dangkal lainnya – sertifikasi untuk naik jabatan misalnya – namun belajar merupakan sebuah proses untuk memuaskan hasrat keingintahuan dan membangun diri untuk jadi lebih baik. Plus, belajar apapun itu, tidak akan pernah berakhir pada kesia-siaan.
Terakhir, saya akan menutup artikel ini dengan kutipan dari Pram yang selalu dipegang erat oleh Mbak Ica:
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” ― Pramoedya Ananta Toer
Jakarta, 13 Mei 2016
Yabes Elia
Makasih yo.. nampang di sini 😀 😀