“Lha, situ katanya gamer kok malah ikut-ikutan nulis efek buruk bermain game?” Well, saya geli melihat orang-orang yang tidak tahu apa-apa soal game sok tahu soal itu.
Misalnya saja, banyak orang-orang awam yang mengatakan bahwa gamer itu jadi cenderung suka dengan kekerasan. Faktanya, orang-orang paling sabar yang saya kenal itu justru malah gamer.
Padahal di game, salah satu kawan saya yang paling sabar itu hobinya menembaki kepala orang. Sebaliknya, kawan saya ini juga bisa sabar justru karena sering bermain game. Dia gamer profesional yang berarti harus bisa menahan emosi setiap kali bertanding.
Saya juga demikian… nyahahaha… Serius, mereka yang pernah bekerja satu kantor dengan saya pasti juga akan mengakui bahwa saya itu orangnya sabar dan jarang marah (awas kalau ada yang bilang sebaliknya) ^,^….
BACA JUGA: SURAT TERBUKA UNTUK PARA GAMER
Karena itu, sebenarnya argumen bahwa gamer jadi cenderung suka kekerasan itu jadi tidak valid sama sekali.
Lalu apa sebenarnya efek buruk dari terlalu banyak bermain game? Well, sebelum kita masuk ke poin pertama, saya harus mengatakan bahwa ini dari pengalaman saya pribadi.
Jadi, bisa saja efeknya berbeda untuk orang lain. Namun setidaknya, saya akan mencoba menjelaskannya dengan argumen yang masuk akal – tidak seperti yang dituliskan oleh orang-orang awam yang saya maksud di awal tulisan.
1. Obscure Sense of Achievements
Menurut saya, inilah imbas negatif pertama yang saya rasakan. Karena terlalu banyak bermain game, saya jadi merasa lebih susah menyadari apa sajakah keberhasilan yang pernah saya raih di dunia nyata, baik dalam aspek personal ataupun profesional.
Di game, hal ini jauh lebih mudah untuk disadari. Anda bunuh 100 juta monster, Anda bisa naik level. Kenaikan level itu juga jauh lebih jelas terlihat.
Sedangkan di dunia nyata, jujur saja, saya juga tidak yakin bahwa kemampuan menulis saya itu sudah setingkat apa. Padahal, saya sudah serius belajar soal tulis menulis bahkan sejak saya masih SMA, kira-kira sekitar 15 tahun yang lalu.
Saya masih sering minder ketika membaca tulisan-tulisan senior saya yang jauh lebih enak dibaca untuk topik yang lebih kompleks. Saya juga tidak tahu berapa lama lagi saya harus belajar untuk bisa sampai ke level mereka.
Ditambah lagi, ambiguitas rasa keberhasilan ini juga diperparah dengan lebih banyak orang tua, guru, dan atasan yang lebih suka memarahi anak, murid, ataupun anak buahnya saat mereka melakukan kesalahan, ketimbang memuji mereka saat berhasil melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik.
Di game, bahkan ketika kita naik 1 level sekalipun, kita bisa merasakan capaian yang lebih kongkrit.
Di arena game kompetitif pun juga demikian. Jika sebelumnya Anda tidak bisa mengalahkan satu tim, kemudian di lain kesempatan Anda berhasil mengalahkan tim tersebut, Anda akan merasakan sensasi yang luar biasa.
Padahal faktanya, setiap orang itu ingin merasa hebat dalam 1 atau 2 hal. Karena itu jugalah, Facebook dan sosial media lainnya selalu ramai. Jika Anda mau jujur, saya yakin Anda juga lebih bahagia jika status Anda mendapatkan 50 Likes ketimbang 1 Likes.
Angka-angka sosial media tersebut seolah menjadi tolak ukur keberhasilan Anda dalam bersosialisasi. Di dunia riil, kemampuan Anda bersosialisasi itu jauh lebih susah ditentukan tolak ukurnya.
Karena itu, game dapat memberikan sensasi capaian dan keberhasilan yang lebih kongkrit ketimbang dunia nyata, setidaknya bagi saya pribadi.
2. Unidentified Duration of the ‘Game’
Efek negatif kedua ini sebenarnya berkaitan erat dengan efek pertama tadi. Di game, tempo permainan itu bisa terlihat dan dirasakan dengan jauh lebih jelas.
Anda tahu Anda kalah di pertandingan MOBA ketika melihat markas Anda sudah hancur. Di pertandingan MOBA, fase early, mid, dan late juga dapat dirasa dengan lebih jelas.
Di hidup ini? Well, satu hal yang jelas, saya kira tidak ada satu orang pun di dunia ini yang tahu kapan hidupnya akan berakhir.
Ketidakjelasan waktu permainan ini juga terjadi di aspek personal dan profesional. Di aspek personal contohnya lebih gampang.
Kalau Anda pernah merasakan berada di area friendzone, saya yakin Anda juga bingung sampai kapankah Anda harus bertahan di sana.
Di dunia profesional, ambil saja zilbest.com ini sebagai contoh. Zilbest.com ini sudah berjalan satu tahun lebih dan, jujur saja, saya tidak tahu apakah memang zilbest.com ini masih punya peluang untuk berhasil atau saya sudah melewatkan kesempatan untuk dapat benar-benar mencari nafkah dari sini.
Di ajang game kompetitif, hal ini juga terlihat lebih jelas. Kalau Anda kalah di semifinal, ya Anda tidak akan mungkin jadi juara jika sistemnya pakai sistem gugur alias tidak ada loser bracket. Dengan demikian, Anda bisa lebih fokus untuk berusaha dan berlatih lebih baik untuk kesempatan berikutnya.
Di hidup ini, saya jujur tidak tahu karir saya itu sudah ada di babak perempat final, masih di babak penyisihan, atau malah sebenarnya sudah seharusnya pulang ke kandang… wkwkwkwk…
3. Machine-Based System
Inilah efek negatif terakhir yang saya sadari. Di dalam game, sistemnya dijalankan oleh mesin, robot, atau AI (artificial intelligence). Sedangkan di dunia riil, saya kira semua sistem yang berlaku masih dijalankan oleh manusia.
Misalnya, sistem hukum di satu negara itu ditegakkan oleh manusia, hakim, polisi, dan kawan-kawannya. Sistem perusahaan juga ditentukan oleh pemilik modal, yang juga masih manusia atau sekumpulan manusia.
Kenapa ini jadi masalah? Well, mesin itu juara dalam hal konsistensi, atau setidaknya jauh lebih baik dibanding manusia soal aspek itu.
Misalnya seperti ini, dua karakter game yang punya status yang sama, kemungkinan performanya juga sama. Misalnya, jika satu karakter STR nya sama-sama 50, berarti Damage atau Health-nya juga sama (tergantung dari formula yang digunakan).
Di dunia riil, orang yang sama-sama lulusan S1 dari jurusan yang sama, fakultas yang sama, universitas yang sama, dan tahun angkatan yang sama, kemungkinan besar, produktifitasnya berbeda, bisa jadi kualitasnya yang berbeda ataupun kuantitasnya yang berbeda.
Demikian juga dengan soal Reward & Punishment. Di game, kalau saya berhasil mengalahkan satu musuh, saya akan mendapatkan hadiah yang sama (atau setidaknya dari kumpulan yang sama kalau itu pakai sistem random loot). Orang lain yang mengalahkan musuh tadi juga akan mendapatkan perlakuan yang sama.
Di dunia riil, baik profesional ataupun personal, nyatanya jika ada 2 orang melakukan kesalahan yang sama, belum tentu hukumannya sama karena yang menjalankan sistemnya ya manusia yang memiliki perspektif yang berbeda-beda.
Bahkan jika yang melaksanakan sistemnya adalah orang yang sama, belum tentu juga mereka akan mengambil keputusan yang sama di kondisi dan situasi yang sama, tergantung perubahan mood ataupun perubahan prinsip hidup.
Manusia memiliki subjektifitas. Mesin itu tidak punya opini pribadi yang berbeda-beda, antara mesin satu dengan yang lainnya.
Disadari atau tidak, kita memiliki kecenderungan untuk lebih dekat dengan tipe-tipe orang tertentu ketimbang tipe-tipe lainnya.
Jangan salah sangka, saya tidak mengatakan bahwa saya adalah orang paling konsisten. Saya juga manusia yang masih sangat tidak konsisten. Saya sering lupa meski sudah diberi tahu beberapa kali.
Saya juga merasa lebih dekat dengan tipe-tipe orang tertentu dengan orang yang lainnya. Saya juga sering tidak konsisten dalam menulis. Otak saya, karena bukan mesin, yang menjalankan sistem berpikir dan berperilaku masih sangat tidak konsisten dari waktu ke waktu.
“Consistency is contrary to nature, contrary to life. The only completely consistent people are dead.” – Aldous Huxley
Penutup
Akhirnya, sekali lagi, itu tadi yang saya rasakan yang saya kira terjadi gara-gara terlalu banyak bermain game. Mungkin Anda merasakan hal yang berbeda dan saya kira itu normal saja karena saya memang percaya dengan inkonsistensi manusia dalam aksi dan reaksinya.
Apakah Anda merasakan hal yang sama? Atau Anda merasa saya terlalu gila? Wkwkwkkwk…
Jakarta, 13 Juni 2017
Yabes Elia
Informasi ini menarik