Review Tentang Review – Part. 1: Subjektifitas vs. Objektifitas

Mau beli ponsel? Baca review. Beli motherboard? Baca review. Game, film, ataupun ribuan kategori produk lainnya hampir pasti sudah ada reviewnya. Namun pertanyaannya, apakah review-review tersebut bisa dipercaya?

Perdebatan antara subjektifitas dan objektifitas sang reviewernya itu memang sudah lama muncul, namun sekarang perdebatan baru muncul yakni antara Users Review vs. Critics Review.

Users Review yang saya maksud di atas review-review dari pengguna / user yang bisa Anda temukan di IMDB, Steam, Amazon, Google Play, ataupun situs-situs lainnya. Sedangkan Critics’ Review biasanya mengacu pada review-review dari media yang berisikan para profesional yang memang dibayar untuk melakukan pengujian / ulasan / review tadi.

Jangan berburuk sangka terlebih dahulu dengan kata ‘dibayar’ karena belum tentu hal tersebut berpengaruh terhadap hasil review para profesional tadi – dan kenyataannya, mereka memang mendapatkan penghasilan dari review-review tadi, baik dalam bentuk gaji, iklan, ataupun keuntungan lainnya.

Tujuan saya di tulisan ini adalah membantu Anda mem’baca’ / menganalisa review-review tersebut dan mencoba menengahi 2 perdebatan di atas.

Sebelum kita masuk ke pembahasan, saya kira saya harus menyebutkan bahwa saya punya latar belakang bekerja sebagai reviewer untuk game dan PC hardware saat saya masih bekerja untuk majalah PC Gamer Indonesia, gadget untuk majalah T3 Indonesia, dan juga sudah mencoba ribuan aplikasi dan game untuk Android saat saya bekerja untuk Mobogenie, sebagai justifikasi atau bentuk kredibilitas dari yang saya tuliskan di sini.

Jujur saja, pengalaman saya memang masih seumur jagung – dari Desember 2008 – dan saya tahu ada ribuan profesional lainnya yang punya pengalaman yang jauh lebih banyak dan lebih solid dari saya namun saya rasa latar belakang profesional saya bisa saya gunakan untuk melihat dan membaca 2 perdebatan tadi dari perspektif yang berbeda.

Subjektifitas vs. Objektifitas

credit: Michael Kloran

Perdebatan ini mungkin memang sudah lama sekali muncul, bahkan sejak saya masih sekolah dulu namun, dari pengalaman saya bekerja sebagai reviewer, kenyataannya, subjektifitas itu lebih banyak digunakan di banyak review ketimbang objektifitas.

Saya rasa objektifitas itu hanya dapat digunakan ketika mengukur hal-hal yang memang mudah diukur dengan angka dan dapat dikaji ulang.

Misalnya, hasil benchmark Unigine, 3D Mark, Cinebench, ataupun benchmark-benchmark lainnya untuk jeroan PC (hardware). Contoh lainnya mungkin adalah berat, ukuran produk, torsi mesin, durasi film, ataupun hal-hal lainnya yang dapat diukur dengan satuan tertentu yang universal (yang diterima semua pihak).

Di luar hal-hal yang dapat diukur dengan satuan tertentu tadi, semuanya jadi subjektif atau bergantung pada siapa reviewernya.

Namun demikian, jangan salah sangka terlebih dahulu, subjektifitas itu tidak selalu negatif – saya bahkan cenderung melihat subjektifitas sebagai satu hal yang positif.

Misalnya saja seperti ini, saya punya kawan yang juga seorang reviewer dan juga kebetulan adalah juara dunia overclocker.

Saya kira kawan saya itu punya segudang pengetahuan dan pengalaman yang tidak dimiliki oleh reviewer-reviewer lainnya – sehingga hasil reviewnya mungkin akan jadi berbeda dengan mereka-mereka yang tidak punya pengetahuan dan pengalaman yang sehebat kawan saya tadi.

Jika misalnya saya dan kawan saya tadi me-review produk yang sama, misalnya procie (CPU), mungkin hasil atau kesimpulannya juga akan berbeda. Saya lebih fokus pada game-game yang bisa dimainkan dengan procie tadi sedangkan kawan saya tadi mungkin akan lebih fokus pada performa komputasi procie tersebut.

Kebetulan memang pengetahuan overclocking saya juga dapat diibaratkan setingkat anak SD jika dibandingkan dengan kawan saya yang mungkin dapat diibaratkan setingkat profesor.

Jadi, saya lebih peduli dengan bagaimana saya bisa mendapatkan performa terbaik dari procie tersebut dengan waktu dan usaha seminimal mungkin. Sedangkan kawan saya tadi bisa membuka performa tersembunyi dari satu produk (dengan overclocking) meski dengan sedikit upaya / waktu lebih.

Lalu manakah yang lebih baik dari hasil review tersebut?

Saya kira inilah masalah yang dimiliki oleh banyak orang. Berbeda itu tidak selalu buruk. Perbedaan itu justru bisa jadi pengetahuan lebih dan variasi pilihan untuk pembaca yang berbeda-beda, tujuan, selera, ataupun situasinya.

Selain itu, dari yang banyak saya temukan, sebagian besar orang menilai objektifitas dan subjektifitas itu terlalu luas dan cepat. Satu review produk itu bisa jadi kombinasi antara subjektifitas dan objektifitas – atau tidak sepenuhnya subjektif ataupun seutuhnya objektif.

Contoh yang paling mudah adalah review laptop. Laptop memiliki 2 kategori ‘fitur’ yang harus dipertimbangkan.

Performa komputasi sebuah laptop mungkin dapat dikategorikan sebagai fitur objektif karena, siapapun reviewernya, hasilnya mungkin akan sama atau paling tidak mendekati antara satu review dengan review lainnya.

Walaupun performa komputasi ini juga bisa jadi subjektif jika kemudian dilabeli dengan kata sifat (adjective) yang dipilih oleh sang reviewer – kencang, lambat, hebat, kurang, ataupun kata-kata sifat lainnya – tergantung dari pengalaman dan ekspektasi sang reviewernya.

Sedangkan model, berat, ukuran, warna, ataupun aspek-aspek lainnya bisa dikategorikan sebagai fitur subjektif. Karena tiap orang mungkin punya selera yang berbeda dari bentuk atau model sebuah laptop ataupun kompromi dari ukuran dan berat laptop tersebut – ada yang tidak masalah dengan laptop tebal, berat, dan besar namun ada juga yang tidak suka.

Itu tadi kita berbicara soal produk yang punya aspek-aspek yang mudah diukur dengan angka. Hal ini akan semakin subjektif jika kita berbicara soal produk yang, menurut saya, sangat sulit diukur dengan angka, misalnya film, musik, ataupun hasil industri kreatif lainnya.

Kenyataannya, setiap manusia memiliki selera yang berbeda-beda. Ada yang lebih suka Jazz ketimbang Rock. Ada yang lebih suka Drama ketimbang Action. Ada yang lebih suka RPG ketimbang FPS.

Disadari atau tidak, saya percaya selera itu pasti ada dan berpengaruh ketika menilai sebuah produk kreatif.

BACA JUGA: 5 Tantangan Terbesar bagi Para Pekerja Kreatif

Selera ini juga sebenarnya tidak sesederhana yang dibayangkan banyak orang. Selera itu dipengaruhi oleh ratusan hal lain yang ada di otak sang reviewer, seperti pengalaman, pengetahuan, tujuan, ataupun hal-hal lainnya.

Misalnya saja, jujur saja, saya tidak suka Game of Thrones karena terlalu banyak bicara, terlalu sedikit action, dan konflik yang terlihat sengaja dibuat terlalu berbelit-belit – mungkin akan ada sekian banyak orang yang akan protes dan tidak setuju dengan saya namun saya tidak peduli kawkaowkaowka…

Kenapa? Karena saya sudah menonton habis Spartacus yang lebih banyak berantem-nya, lebih banyak adegan ‘ehm‘ (kwkwkwkwkw), dan lebih masuk akal konfliknya… Mungkin, jika saya belum pernah menonton Spartacus sama sekali, saya akan suka Game of Thrones.

Akhirnya, saya kira perdebatan antara subjektifitas atau objektifitas itu tidak bisa dijadikan argumen ataupun penilaian baik dan buruk dari sebuah review.

Karena seperti yang saya jabarkan tadi, subjektifitas itu tidak selalu berarti negatif atau buruk. Karena pengalaman, pengetahuan, dan tujuan yang berbeda-beda dari masing-masing reviewer itulah yang membuat sebuah review menjadi unik dan istimewa.

Plus, objektifitas itu akhirnya terlalu sempit untuk digunakan seutuhnya dalam sebuah review.

Satu hasil review hanya akan objektif seutuhnya ketika hanya menyajikan angka dengan satuan yang dapat diterima secara universal atau dikaji ulang – misalnya frame per second (fps), skor 3D Mark, Newton Meter (Nm), GHz, FLOPS, kilogram, milimeter, dll.

Namun, ia akan jadi subjektif saat sang reviewer menggunakan kata sifat (adjective) seperti mahal, kencang, bagus, dkk., ataupun angka-angka yang tidak universal (arbitary) seperti skor-skor yang hanya digunakan di media masing-masing.

So, jika Anda membaca sebuah review produk, memahami antara objektifitas dan subjektifitas itu memang penting untuk disadari namun, bagi saya, bukan perbedaan itu yang bisa dijadikan patokan apakah sebuah review bisa dipercaya atau tidak.

Saya lebih percaya bahwa penilaian review yang bagus atau tidak itu lebih bergantung pada kejelasan metode pengujian (sebagai bentuk justifikasi dari hasil), perbandingan sebuah produk dengan produk alternatif (yang sangat bergantung pada pengetahuan dan pengalaman sang reviewernya), dan penjelasan yang logis berbasis pada argumen yang dapat dipahami (misalnya, produk A lebih cocok untuk konsumen B karena alasan C).

Berhubung sudah terlalu panjang, saya akan bahas antara perdebatan antara Users Review vs. Critics Review di bagian kedua.

Semoga artikel ini berguna bagi Anda.

Jakarta, 22 Maret 2017

Yabes Elia

Yabes Elia

Yabes Elia

An empath, a jolly writer, a patient reader & listener, a data observer, and a stoic mentor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.