Bahasa Inggris merupakan bahasa internasional yang dipelajari di hampir seluruh dunia. Apalagi dengan adanya media sosial, mengerti Bahasa Inggris menjadi sebuah tuntutan jika ingin mengakses informasi yang lebih luas tentang segala sesuatu. Bahasa Inggris pun sudah dipelajari di sekolah sejak kecil, walaupun tidak semua orang mahir seusai masa pembelajaran. Pernahkah Anda merasa bahwa Anda paham secara gramatikal, namun masih merasa sulit bicara Bahasa Inggris?
Salah satu alasan yang melatari hal ini adalah pola belajar yang tidak seimbang. Ketika Anda mempelajari Bahasa Inggris (atau bahasa pada umumnya), maka akan selalu ada 4 aspek yang diberikan, yaitu writing, reading, listening, dan speaking. 4 aspek ini meliputi semua kegiatan berbahasa yang dilakukan dalam dunia nyata.
Anson Wong membagi cara pembelajaran ke dalam dua kategori, yaitu Input Based dan Output Based. Jika dimasukkan ke dalam konteks belajar Bahasa Inggris, maka reading dan listening akan masuk ke kategori Input Based, sedangkan writing dan speaking ke dalam Output Based.
Secara sederhana, reading dan listening tergolong kegiatan pasif yang bersifat reseptif. Sedangkan writing dan speaking merupakan kegiatan aktif yang melibatkan penutur untuk menghasilkan sesuatu. Idealnya, untuk menguasai bahasa secara utuh, pembelajaran Input dan Output Based haruslah seimbang.
Sayangnya, menurut Shion Kabasawa dalam kedua bukunya yang berjudul “The Power of Input: How to Maximize Learning” dan “The power of Output: How to Change Learning to Outcome” seseorang memiliki kecenderungan untuk lebih banyak belajar kemampuan Input Based dibandingkan Output Based dengan rasio 7:3.
Hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa sulit bicara bahasa Inggris walau kita mengerti sepenuhnya. Lalu, apakah ada cara untuk mengatasinya?
Tentunya dengan memperbanyak dan melatih berbicara. Berkat teknologi Internet, sekarang kita sudah bisa melatih berbicara dengan orang lain, baik dengan teman hingga native speaker sekalipun tanpa perlu bertatap muka seperti dulu. Atau cara lain yang lebih tradisional adalah dengan berbicara dengan teman imajiner, merekamnya, lalu mengkoreksinya jika terdapat kesalahan.
Dengan terus belajar berbicara, otak terlatih untuk mengeluarkan semua kosakata yang tersimpan, dan menimbulkan apa yang disebut dengan muscle memory atau memori otot. Dengan begitu, kita bisa memberikan sebuah respon yang lebih cepat, tanpa perlu melalui proses berpikir manual ketika mendapatkan atau melontarkan pertanyaan dan pernyataan. Terlepas dari benar salahnya secara gramatik, setidaknya kita sudah bisa berbicara lebih baik dibandingkan sebelumnya.
Selain permasalahan teknis tersebut, ada kalanya seseorang merasa tidak pede atau takut salah ketika mencoba berbicara. Faktanya, bahkan native speaker sekalipun tidak akan mempermasalahkan kesalahan yang kita buat, selama mereka mengerti pesan yang disampaikan. Sama halnya dengan kita memaklumi bule yang mencoba untuk berbahasa Indonesia.
sumber: Hector de Isidro